Senin, 28 Desember 2009

Kejaksaan, polisi dan KPK saling usut dana Century

JAKARTA - Kejaksaan sudah menetapkan Komisaris bank Century hesyam Al-Waraq dan Pemegang Saham pengendali Bank Century Rafat Ali Rizvi sebagai tersangka. Sementara KPK sudah membentuk tim khusus pengkaji audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dana talangan ke Bank Century. Tim ini diketuai Direktur Penyelidikan (KPK) Iswan Elmi. Tim yang ini beranggotakan lebih dari 10 pegawai KPK akan menyeldiki kasus Century.

Kasus ini berawal pada tahun 2008 Bank Century mengalami kegagalan kliring karena likuiditas. Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah mengucurkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun. Namun berdasar hasil penelusuran kesulitan likuiditas bukan dikarenakan gagal dalam mengelola, melainkan digunakan untuk berbagai kegiatan investasi dan kepentingan perusahaan di berbagai negara atas nama Robert Tantular, Hesyam, dan Rafat.

Selain itu dana talangan juga dipergunakan untuk menyelamatkan kreditur kelas kakap Bank Century. Informasi yang diperoleh, aset itu berupa perusahaan atas nama Robert Tantular.

Sumber: Koran HARIAN TERBIT

Pendapat:
Memang sebaiknya kasus Bank Century harus di usut, karena dana yang dikucurkan pemerintah tidak dipergunakan dengan benar oleh Bank Century. Bahkan Bank Century melakukan kebohongan agar pemerintah mengucurkan dana.
YLKI: Kasus Prita Bentuk Pembungkaman terhadap Konsumen
Prita Mulyasari sedang menjalani sidang pidana perdananya di Pengadilan Negeri Tangerang, Kamis (4/6).


Kamis, 4 Juni 2009 | 11:31 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Suksmaningsih di Jakarta, Kamis (4/6), mengatakan, kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari (32) merupakan bentuk pembungkaman terhadap konsumen.

Menurutnya, penulisan yang dilakukan Prita adalah suatu bentuk informasi mengenai pelayanan publik, maka masyarakat harus mengetahui tentang hal itu. "Seharusnya pihak Rumah Sakit Omni menerima feed back yang dilakukan oleh Prita dan melakukan pendekatan lebih secara kekeluargaan serta menggunakan hati nurani, bukan langsung dengan jalur hukum seperti ini," tandasnya.

Dijelaskan Indah, bila dengan cara surat eletronik (e-mail) disampaikan Prita menimbulkan masalah, jadi harus bagaimana lagi masyarakat mengadukan keluhannya. "Kemana masyarakat harus menyampaikan keluhannya, untuk melapor ke pemerintah tidak mungkin, karena akan sia-sia saja," tandasnya.

Kasus pencemaran nama baik tersebut berawal ketika Prita menulis e-mail kepada kalangan terbatas tentang pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional. Namun, isi dari surat elektronik tersebut tersebar ke sejumlah milis sehingga rumah sakit ini mengambil langkah hukum.

Prita menyampakan hal ini dalam bentuk tulisan e-mail lantaran mempertanyakan mengapa rumah sakit internasional tersebut tidak memberikan hasil tes trombosit kepada dirinya. Padahal, tes trombosit tersebut menjadi alasan rumah sakit agar Prita dirawat inap.

Indah juga menyayangkan, RS Omni yang berskala internasional tidak mau mendengar masukan dari masyarakat, yang notabene menuju perkembangan yang lebih maju bagi rumah sakit. "Jangan mentang-mentang memiliki dana langsung menggunakan jalur hukum untuk menghadapi masyarakat kecil," ujarnya.

Sumber: http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/06/04/11314284/YLKI.Kasus.Prita.Bentuk.Pembungkaman.Terhadap.Konsumen

Sabtu, 12 Desember 2009

Produk Kadaluarsa Yang Disita Tim Gabungan

Kota Bima, Nusatenggaranews.com.-
Puluhan produk makanan dan minuman kadaluarsa kembali disita tim gabungan. Mereka dari Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Kota Bima, Kepolisian, Bakesbanglinmas, Pol PP, Dinas Kesehatan (Dikes), Bappeda, dan Bawasda.

Operasi yang dihelat Kamis (25/9) itu, merupakan yang ketiga kalinya, dimulai sejak pukul 10.00 Wita. Hasilnya, menjaring puluhan merek makanan dan minuman. Sasarannya adalah sejumlah pusat perbelanjaan yang biasanya ramai dikunjungi. Operasi itu untuk melindungi konsumen, khususnya pada bulan Ramadan. Terlebih lagi seringnya terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), akibat keracunan makanan.

Barang apa sajakah yang menjadi target operasi itu? Kepala Bidang (Kabid) Perdagangan Diskoperindag Kota Bima, Drs Idris Yasin, menjelaskan, sasaran operasi adalah barang-barang yang kadaluarsa dan makanan dan minuman produk negara Cina yang terindikasi mengandung melamin. Lokasi yang menjadi sasaran operasi toko Sumber Mas, Subur, toko di sekitar terminal Dara, Hokky Mart, Lancar Jaya, dan lainnya. Diakuinya, produk yang disita adalah sirup, minuman kaleng, beberapa bahan membuat jajan, minuman rentengan, makanan ringan, sagu, kopi cair, permen, dan lainnya.

Katanya, operasi itu dilakukan berdasarkan laporan masyarakat. Disamping itu untuk menjaga-jaga agar tidak terulang lagi KLB. Dia berharap agar masyarakat berhati-hati mengonsumsi makanan yang dibeli dari toko. Tiga bulan sebelum masa kadaluarsa jangan konsumsi lagi, ujar Idris. (BE.18)

Produk Berbahaya Indonesia berguncang dalam seminggu terakhir ini. Beragam produk dari negara Cina yang ditengarai mengandung melamin ditarik dari peredaran. Bos yang mengawasi peredaran produk di Cina sana sudah mundur untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apalagi, untuk kasus produk Cina yang berbasis susu, sejumlah bayi meninggal karenanya. Produk makanan dan minuman kadaluarsa pun marak. Disita pada satu momentum, tetapi mucul lagi pada momentum yang lain. Selain itu, daging-daging glonggongan dan ayam tiren marak disita. Dari sisi kesehatan, ini kondisi yang berbahaya. Di Bima pun kurang lebih demikian. Suatu kenyataan yang menggelisahkan kita. Perburuan keuntungan dengan melegalkan segala cara.

Ada aspek yang perlu dilihat dalam kasus ini. Dari sisi pelaku. Ada etika bisnis yang diciderai sehingga merugikan publik. Mereka yang gagal mendapatkan informasi yang memadai adalah sasaran empuk. Pada titik inilah, pemerintah diharapkan lebih proaktif mengawasi dan menindak tegas oknum yang mencari keuntungan dengan merugikan masyarakat. Eksekusi tegas terhadap pelanggar dinanti publik untuk menimbulkan efek jera dan efek malu. Kita sesalkan mereka yang mencari keuntungan dengan percobaan pembunuhan fisik orang lain. Mengonsumsi makanan dan minuman kadaluarsa adalah menyemai benih racun dalam metabolisme tubuh.

Sumber: http://www.nusatenggaranews.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=7&artid=5083

Selasa, 08 Desember 2009

Pelanggaran IMB Menurun

MAKASSAR – Bagian Penertiban dan Pengusutan (BPP) Dinas Tata Ruang dan Bangunan (DTRB) Makassar mencatat terjadi penurunan jumlah pelanggaran terhadap proses izin mendirikan bangunan (IMB) dari kurun waktu Januari hingga September 2009.

Kepala Bidang BPP DTRB Makassar Irwan Adnan menjelaskan, tren pelanggaran terhadap pengurusan IMB di Makassar mengalami perubahan signifikan mulai Januari hingga September 2009, kasus yang ditemukan hanya berkisar 261. Dibandingkan tahun lalu, jumlahnya menurun, pada 2008, jumlahnya mencapai 1.170 kasus pelanggaran dengan tiga kategori pelanggaran. Kategori tersebut mulai kasus pelanggaran garis sempadan, membangun tanpa memiliki IMB, serta mendirikan bangunan tidak sesuai IMB yang diterbitkan.

Turunnya angka pelanggaran tersebut sangat dipengaruhi gencarnya dilakukan sosialisasi ke masyarakat,melalui kelurahan,kecamatan, hingga melibatkan media massa. Bahkan, boleh dikatakan kesadaran masyarakat mengurus IMB cukup tinggi, meski di sisi lain masih tetap saja ditemukan adanya pelanggaran. ”Dari sejumlah pelanggaran yang ditemukan itu,paling mendominasi warga yang membangun tidak sesuai peruntukan IMB-nya. Bahkan di lapangan, mereka mayoritas melakukan alih fungsi peruntukan bangunan,” katanya saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin.

Dia mencontohkan, kasus pengalihfungsian peruntukan lahan, seperti perizinan yang dikeluarkan untuk rumah tinggal ternyata diubah menjadi kafe, rumah toko (ruko) disulap menjadi showroom, serta ruko dijadikan kantor,hingga jadi tempat penyimpanan. Padahal, untuk mengubah seperti ini, dibutuhkan izin berbeda dengan tarif retribusi yang berbeda pula dan harus menyesuaikan dengan izin penggunaan bangunan (IPB) sesuai Perda 15/2004 tentang Tata Bangunan. Untuk kasus pelanggaran, biasanya jika ditemukan di lapangan, petugas pengawas pembangunan tidak langsung dieksekusi atau dibongkar.

Terkecuali, kondisi bangunan tersebut benar-benar sudah tidak sesuai perizinan atau gambar yang diusulkan dan tidak ada itikad baik dari pemilik mengurus perubahan perizinan mereka. ”Biasanya kalau ditemukan pelanggaran, pemilik bangunan ditegur bertahap,segera mengurus izin mereka atau menyesuaikan dengan IMB yang ada.Tegurannya pun dimulai dengan teguran pertama batas waktu 2x24 jam, teguran kedua 2x24 jam, hingga teguran tiga batas waktu 2x24 jam pula,” ujarnya.

Lewat dari batas yang telah ditentukan dan tidak ada upaya mengurus IMB,akan dilakukan pembongkaran bangunan. Pembongkaran melibatkan personel DTRB berkisar 10 hingga 15 orang,tanpa menyita material pemilik bangunan. Dia menambahkan, minimnya petugas yang diturunkan dalam penertiban disebabkan sangat terbatasnya personel pengawas bangunan yang dimiliki DTRB. Saat ini saja yang tersedia 33 orang,harus meng-cover143 kelurahan dan 14 kecamatan.

Belum lagi terbatasnya mobil operasional hanya berkisar dua unit, padahal untuk pengawasan seperti ini idealnya dibutuhkan satu orang untuk satu kelurahan. Sebelumnya, Kepala DTRB Makassar Andi Oddang Wawo menyatakan, permintaan menambah personel ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) telah berkali-kali diusulkan. Hanya hingga kini belum ada realisasi.

”Kami selalu berupaya memaksimalkan Sumber Daya Manusia yang ada. Kendati demikian, penambahan personel sangat diharapkan bisa terealisasi dalam waktu dekat,” tandasnya ketika dihubungi kemarin. (SI-suwarny dammar)


http://news.makassarterkini.com/index.php?option=com_content&view=article&id=958%3Apelanggaran-imb-menurun&catid=34%3Ainfo-terkini&Itemid=1
Ada Pelanggaran Kode Etik dalam Pemberitaan Kasus Antasari
Selasa, 26 Mei 2009 | 18:41 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada bagian yang melanggar kode etik jurnalistik dalam pemberitaan media seputar kasus pembunuhan Direktur Utama P.T. Putra Rajawali Banjaran (P.T. PRB) Nasrudin Zulkarnaen yang menyeret Antasari Azhar.

Demikian diungkap Anggota Dewan Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tribuana Said saat Diskusi Kasus Kode Etik Jurnalistik di Kantor PWI, Jakarta, Selasa (26/5). "Ada 5 indikasi terjadinya pelanggaran (kode etik jurnalistik)," kata Tri, panggilan akrabnya.

Lebih lanjut ia mengatakan indikasi pelanggaran itu adalah soal kebenaran yang dibiarkan mengambang dalam proses penyelidikan ini. Kedua, secara kualitatif pemberitaannya kurang berimbang. Ketiga, pada awal kasus ini status praduga tak bersalah kurang dipegang. Antasari yang awalnya saksi dianggap sudah tersangka.

Indikasi keempat menyangkut materi pemberitaan atau penyiaran yang hanya mengulang (repetitive materil), khususnya untuk media televisi. Menurutnya, pemberitaan belum sampai pada proses investigasi yang mendalam. Dan terakhir, pemberitaan kurang mencerahkan sehingga publik digiring untuk menyebarkan rumor.

"Saya berharap insan pers segera bertindak untuk tegakkan kebenaran," tegasnya. Said mengingatkan kaidah-kaidah yang mesti dipenuhi pada setiap pemberitaan media.

Pertama, para wartawan harus melakukan liputan berdasar itikad baik. Kedua, menggunakan narasumber yang memiliki otoritas. Ketiga, asas praduga tak bersalah dipertahankan kecuali tertangkap tangan berbuat salah. Yang penting juga, para jurnalis harusnya menolak intervensi pemilik media. "Dan yang paling pokok adalah faktual, independen, akurat dan tidak plagiat," pungkas Tri.


http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/05/26/1841458/ada.pelanggaran.kode.etik.dalam.pemberitaan.kasus.antasari

Etika Bisnis: Lapindo Brantas dan HIT

Beberapa waktu belakangan ini setidaknya ada dua berita yang membuat kita mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua dunia yang berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Porong, Sidoarjo yang disebabkan oleh eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, produsen obat anti nyamuk HIT, PT Megahsari Makmur ketahuan memakai bahan pestisida yang bisa menyebabkan kanker pada manusia di dalam produk barunya, walau zat tersebut sudah dilarang penggunaannya sejak tahun 2004 lalu.

Dalam kasus pertama, bencana tersebut telah menyebabkan dampak negatif yang luar biasa bagi penduduk dan aktivitas perekonomian di daerah sekitarnya. Tercatat ratusan penduduk sekitar harus mengunjungi rumah sakit, sementara perusahaan tersebut terkesan lebih memperdulikan penyelamatan atas aset-asetnya dibanding berusaha mengatasi masalah lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya. Kalau pun pada akhirnya PT Lapindo Brantas bersedia memberikan ganti rugi, terdapat kesan hal tersebut dilakukan dengan terpaksa setelah adanya desakan dari berbagai pihak, termasuk wakil presiden M. Jusuf Kalla. Sementara pada kasus HIT, walau perusahaan tersebut sudah meminta maaf dan mulai menarik produknya dari pasaran, terdapat kesan permintaan maaf tersebut dilakukan dengan setengah hati.

Sebelum kedua kejadian tersebut, kita pernah mendengar kasus pemakaian formalin pada makanan dan pembuatan sambal terasi dengan memakai belatung busuk. Karena dalam kasus-kasus tersebut terlihat jelas bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba, wajar bila kita berkesimpulan bahwa di dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanyalah bersikap baik dan sopan kepada para pemegang saham.

Mengapa pandangan tersebut bisa tumbuh subur? Apakah memang benar etika dan kepentingan perusahaan tidak bisa disatukan?

Memang harus diakui kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal untuk para shareholders-nya. Fokus tersebut membuat perusahaan yang berpikiran jangka pendek berupaya dengan segala cara melakukan apa saja untuk menaikkan keuntungan. Tekanan kompetisi karena globalisasi dan konsumen yang semakin rewel sering dijadikan alasan.

Akan tetapi, beberapa akademisi dan praktisi bisnis belakangan ini melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan kepentingan perusahaan. Menurut pandangan tersebut, justru di era kompetisi yang ketat ini, etika korporasi mampu menciptakan reputasi baik yang bisa dijadikan keunggulan bersaing (competitive advantage) yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing.

Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson & Johnson (J&J) memangani kasus keracunan Tylenol di tahun 1982. Pada kasus tersebut, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengkonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol tersebut mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan untuk mengetahui siapakah pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengeluarkan pengumuman secara nasional agar para konsumen berhenti mengkonsumsi produk tersebut sampai ada pengumuman lebih lanjut. J&J juga bekerjasama dengan pihak kepolisian, FBI dan FDA (BPOM-nya Amerika Serikat) untuk menyelidiki kasus tersebut. Hasil penyelidikan membuktikan kasus keracunan tersebut disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida tersebut ke dalam botol-botol Tylenol.

Biaya yang dikeluarkan oleh J&J dalam kasus tersebut lebih dari US$ 100 juta. Namun karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan tersebut berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercayai sampai saat ini. Begitu kasus tersebut diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup yang lebih aman dan produk tersebut segera kembali menjadi pemimpin pasar. Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan perusahaan justru berbuah keuntungan yang lebih besar kepada perusahaan.

Berkaca pada beberapa contoh kasus di atas, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis berasal dari dua dunia yang berbeda. Penerapan standar etika yang tinggi di perusahaan sebenarnya mampu memberikan keuntungan dalam dua hal sekaligus. Selain untuk membangun corporate image dan reputasi yang bagus, perusahaan juga bisa memandang penerapan standar etika yang tinggi sebagai bagian dari risk management untuk mengurangi resiko jangka panjang perusahaan.

Doug Lennick dan Fred Kiel (2005) dan buku mereka Moral Intelligence, menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Tentu saja yang penting untuk diperhatikan di sini adalah penekanan terhadap kata jangka panjang. Para pemilik modal dan manajer perusahaan yang berpikiran pendek tentu sulit menerima logika ini karena beretika dalam bisnis jarang memberikan keuntungan segera. Karena itu, sistem organisasi terutama sistem insentif harus mempertimbangkan pencapaian prestasi jangka panjang dan penerapan nilai-nilai etika sebagai salah satu faktor penilaian dan promosi. Sistem audit dan kontrol juga harus diperketat untuk mendeteksi secepat mungkin penyimpangan yang terjadi dan menghukum para pelanggar etika tanpa memandang bulu. Kepemimpinan yang menjunjung tinggi etika dan memberi teladan jelas sangat dibutuhkan juga. Tanpa hal-hal seperti itu, etika dalam perusahaan hanyalah omong kosong.

Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, pasar modal, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis sangat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan standar etika bisnis di Indonesia. Sangat disesalkan, misalnya, kasus penggunaan bahan berbahaya pada obat anti-nyamuk HIT hanya mendapatkan porsi berita ala kadarnya dan seolah-olah berhenti begitu saja.


http://www.nexusnexia.com/CSR-Etika-Perusahaan/etika-bisnis-lapindo-brantas-dan-hit.html

Senin, 07 Desember 2009

UANG DAN INFLASI : Cointegrating Vector, Error Correction, dan Kausalitas Granger

Oleh : Agung Nusantara

STIE Stikubank Semarang

ABSTRAK

Tujuan utama tulisan ini adalah menelusuri hubungan kausalitas Granger antara variabel uang, baik dalam konteks M1 maupun M2, dengan variabel tingkat harga dalam perekonomian Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah Vector Error Correcrion Model (VECM), yaitu model analisis yang diterapkan pada variabel yang terkointegrasi pada derajad nol atau I(0).

Implikasi dari penerapan VECM tersebut adalah ditemukannya bukti bahwa antara M1 dengan tingkat harga terjadi hubungan kausalitas Granger dua arah hanya pada jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek hubungannya hanya satu arah, yaitu M1 dipengaruhi oleh tingkat harga, dan sifat hubungan tersebut adalah negatif. Sedangkan M2 sifat hubungannya negatif dan memiliki hubungan kausalitas baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

PENDAHULUAN

Salah satu kontroversi dalam teori moneter antara golongan Klasik dan golongan Keynes adalah tentang pemahaman mereka terhadap inflasi. Perdebatan yang sangat panjang antara kedua golongan tersebut merupakan refleksi atas posisi penting yang ditempati oleh inflasi. Dan secara umum diakui bahwa di negara yang sedang berkembang, inflasi lebih merupakan penyakit ekonomi daripada stimulan ekonomi.

Para pemikir Klasik menyatakan bahwa inflasi, dimanapun dan kapanpun, merupakan fenomena moneter. Pemikiran awal mereka, yang tertuang dalam The Crude Quantity Theory, menyatakan bahwa dalam kondisi full-equilibrium, perubahan moneter hanya akan berpengaruh pada tingkat harga. Sehingga perubahan jumlah uang yang beredar sebagai wujud dari kebijakan moneter, hanya akan mengubah perekonomian secara nominal.

Di sisi lain, kaum Keynes menyatakan bahwa perubahan moneter dapat meningkatkan aktifitas ekonomi dan sekaligus tingkat harga melalui tingkat bunga dan inflasi. Keynes berpendapat bahwa perubahan variabel moneter, berupa perubahan jumlah uang yang beredar, akan berpengaruh terhadap tingkat bunga. Selanjutnya perubahan tingkat bunga akan berpengaruh terhadap investasi, dan melalui mekanisme perubahan harga, akan mempengaruhi pendapatan nasional, sebagai wujud perekonomian sektor riil.

Milton Friedman, sebagai salah satu pengikut aliran Klasik yang modern, mengintegrasikan pemikiran Klasik dengan pemikiran Keynes. Friedman berpendapat bahwa dalam jangka pendek Friedman menganggap bahwa teori Keynes terbukti kebenarannya, yaitu jumlah uang yang beredar berpengaruh pada sektor riil dan bukan hanya sektor moneter (harga). Sedangkan dalam jangka panjang variabel uang bersifat netral terhadap perubahan riil (neutrality of money).

Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui hubungan kausalitas antara variabel jumlah uang yang beredar dengan inflasi, yaitu Dumairy (1986) dan Farchan (1992). Dumairy, dengan menggunakan Granger Causality menemukan bukti bahwa terjadi hubungan dua arah antara jumlah uang yang beredar (M1) dengan tingkat harga. Hasilnya adalah terdapat hubungan dua arah antara kedua variabel dengan perbedaan bahwa pengaruh ekspansi moneter terhadap inflasi lebih berarti daripada pengaruh inflasi terhadap ekspansi moneter. Di sisi lain, Farchan, dengan menggunakan Granger Causality dan Sims Causality membuktikan bahwa terdapat hubungan dua arah antara M1 dengan tingkat harga, yang direpresentasikan oleh CPI. Namun demikian, pengaruh jumlah uang yang beredar terhadap harga lebih berarti daripada pengaruh harga terhadap jumlah uang yang beredar.

Dalam studi yang lebih mendasar tentang kausalitas disebutkan (Granger, 1988) bahwa analisis kausalitas secara tradisional, yang tidak melihat sifat kointegratif dari pasangan variabel pada derajad nol, I(0), memiliki kelemahan pada aspek forecastibility, sehingga memiliki kecenderungan untuk salah dalam pengambilan kesimpulan. Mengingat studi Granger inilah maka kasus kausalitas antara jumlah uang yang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2), perlu diuji kointegrasinya untuk menentukan apakah model analisis kausalitas tradisional memadai untuk diterapkan. Apabila terdapat kointegrasi pada derajad nol, I(0), maka aplikasi alternatif yang ditawarkan oleh Masih and Masih (1993) tentang penggunaan Vector Error Correction Model terhadap data yang terkointegrasi perlu diperhatikan.

METODOLOGI

Dalam memecahkan kasus kausalitas dengan menggunakan pendekatan ECM ini, akan digunakan prosedur perhitungan sebagai berikut:

Prosedur I: Pengujian Hipotesis Unit Root. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui stasioneritas data analisis. Pengujian unit root ini sering juga disebut dengan stationary stochastic process. Dalam kasus ini, bentuk pengujian yang akan digunakan adalah: unit root test of stationarity, trend stationarity stochastic process, dan difference stationarity stochastic process.

Dalam software MicroTSP v.7.0, pengujian stasionaritas data tersedia dalam tiga bentuk, yaitu Augmented Dickey-Fuller (ADF) include Constant (C,n), ADF include Constant and Time Trend (T,n), dan ADF only (N,n). Bentuk umum ketiga uji stasioneritas tersebut adalah:

n

ADF (C,n): d(Yt) = c + BYt+ å d(Yt) + ut

i=1

n

ADF (T,n): d(Yt) = c + BYt+ å d(Yt) + Trend + ut

i=1

n

ADF (N,n): d(Yt) = BYt+ å d(Yt) + ut

i=1

Dasar keputusan yang digunakan dalam uji stasioneritas ini adalah statistik Dickey-Fuler yang built-in dalam software. Uji stasioneritas ini didasarkan atas hipotesis nol variabel stokastik memiliki unit root. (Insukindro, 1990; Nusantara, 1997).

Prosedur II: Engle Granger Cointegration Test. Pengujian kointegrasi menurut Engle-Granger, yang diterapkan disini didasarkan atas: ADF (C,n), ADF (T,4), dan Cointegration Regression Durbin-Watson (CRDW) statistic. Bentuk umum uji kointegrasi tersebut adalah sebagai berikut:

n

ADF (C,n): d(RESIDt) = c + aB(RESIDt) + bå d(RESIDt-i) + ut

i=1

n

ADF (T,n): d(RESIDt) = c + aB(RESIDt) + bå d(RESIDt-i) + Trend + ut

i=1

CRDW: Yt = c + aXt + ut

Dasar pengujian ADF (C,n) dan ADF (T,n) adalah statistik Dickey-Fuller yang built-in dalam software. Sedangkan uji CRDW didasarkan atas nilai Durbin-Watson Rationya, dan keputusan penerimaan atau penolakannya didasarkan atas angka statistik CRDW (Engle and Granger, 1987).

Prosedur III: Error Correction Causality. Apabila pasangan variabel yang akan dianalisis menunjukkan sifat integratif (I,0) maka penghitungan kausalitas Granger harus didasarkan atas model analisis Vector Error Correction (King, 1991; Oskooee and Alse, 1993; Masih and Masih, 1996). Bentuk umum VECM yang akan digunakan dalam analisis adalah sebagai berikut:

n n

dYt = c + a (ECTat-1) + bå dYt-i + dådXt-i + u1t

i=1 i=1

n n

dXt = c + a (ECTbt-1) + bå dYt-1 + dådXt-1 + u2t

i=1 i=1

Dalam VECM terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu (1) signifikansi ECT, dan (2) signifikansi Wald atau F-jointly test. Dalam pengambilan keputusan tentang ada tidaknya hubungan kausalitas Granger, sebenarnya dapat dilihat dari signifikansi salah satu atau keduanya. Dengan lain perkataan hubungan kausalitas Granger dapat dibuktikan dengan signifikannya variabel ECT dan atau signifikannya uji Wald.

Namun demikian, kedua hal tersebut memiliki perbedaan yang nyata. Hal pertama, yaitu signifikansi variabel ECT, menunjukkan hubungan kausalitas Granger dalam jangka panjang, sedangkan signifikansi uji Wald mengindikasikan adanya hubungan kausalitas dalam jangka pendek (Masih and Masih, 1996). Pengujian diagnostik yang menyertai perhitungan VECM, dalam tulisan ini, hanya ditempatkan sekedar menunjukkan posisi pembentukan model secara statistik.

Untuk keperluan analisis, tulisan ini akan menggunakan model empiris VECM untuk variabel M1, M2 dan CPI, dalam bentuk seperti di bawah ini:

Model I:

4 4

dCPIt = c1 + a1 (ECT1t-1) + b1å dCPIt-i + d1ådM1t-i + u1t

i=1 i=1

Model II:

4 4

dM1t = c2 + a2 (ECT2t-1) + b2å dCPIt-i + d2ådM1t-i + u2t

i=1 i=1

Model III:

4 4

dCPIt = c3 + a3 (ECT3t-1) + b3å dCPIt-i + d3ådM2t-i + u3t

i=1 i=1

Model IV:

4 4

dM2t = c4 + a4 (ECT4t-1) + b4å dCPIt-i + d4ådM2t-i + u4t

i=1 i=1

HASIL EMPIRIS

Gambaran Umum Data Dasar Analisis. Sebelum sampai pada analisis hasil perhitungan, maka akan dikemukakan terlebih dahulu gambaran umum data dasar analisis untuk memberikan gambaran secara kasar tentang sebaran data dan karakteristik statistiknya. Untuk itu, tabel 1 dapat dijadikan gambarannya.

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase standard deviasi terhadap mean untuk kelompok data I (CPI, M1, M2) yang masing-masing 13.52%, 30,49%, dan 36,28%, lebih kecil dibandingkan dengan persentase untuk kelompok data II (dCPI, dM1, dM2), yang masing-masing, 94,03%, 188,81%, dan 76,52%. Tingginya persentase standard deviasi kelompok data II merupakan cerminan korelasi individual dalam suatu periode. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan catatan statistik bahwa korelasi individual kelompok data I lebih tinggi daripada kelompok data II.

Cara yang serupa untuk menggambarkan hubungan statistik antara variabel analisis tersebut adalah dengan cara grafis (lihat Lampiran 1 dan Lampiran 2). Gambar 1 dan gambar 3 garis regresinya menunjukkan adanya hubungan positif (yang angka korelasinya masing-masing 0.98 dan 0.97) antara CPI – M1 dan CPI – M2. Sedangkan gambar 2 dan gambar 4, garis regresi yang terbentuk ditafsirkan sebagai elastisitas CPI – M1 dan CPI – M2.

Tabel 1:

Gambaran Umum Data Dasar Analisis

Sample Range: 1991.10 – 1997.07

Number of Observations: 70

Variabel

Mean

SD

Max

Min

CPI

161.30812

21.80902

195.77000

128.35000

M1

43.090739

13.139134

69.950000

25.831000

M2

179.93342

65.285419

317.53300

97.764000

d(CPI)

0.9966667

0.9371842

3.9499970

-1.120010

d(M1)

0.6392173

1.2069025

4.7099990

-2.424000

d(M2)

3.2176086

2.4620114

11.272980

-2.238998

Variabel

Covariance

Correlation

CPI – M1

278.05286

0.9845711

CPI – M2

1365.4977

0.9731085

D(CPI) – D(M1)

-0.0275003

-0.0246707

D(CPI) – D(M2)

-0.3694619

-0.1624781

Sumber: Hasil olahan MicroTSP v.7.0 dari Bank Indonesia, SEKI, beberapa terbitan.

Pengujian Variabel Analisis. Sampai pada tahap ini, kita akan menguji data dasar apakah memenuhi asumsi dasar OLS tentang stasioneritas dan normalitas sebaran data atau tidak. Pengujian dilakukan dengan menggunakan pengujian unit root ADF untuk stasioneritas data dan Jarque-Bera Normality test untuk normalitas sebaran.

Tabel 2:

Pengujian Hipotesis Unit Root dan Normalitas Variabel Analisis

DCPI, DM1 dan DM2

Sample Range: 1991.10 – 1997.07

Number of Observations: 70

U j i

Variabel

UROOT

(C,4)

UROOT

(T,4)

UROOT

(N,4)

J-B

DCPI

-4.4282

-4.3798

-1.5916

5.548194

DM1

-4.0939

-5.3576

-1.6537

4.726765

DM2

-2.3218

-4.9599

-0.5186

6.331114

Sig. Level

1%

5%

10%

DF Stat

-3.5345

-2.9069

-2.5907

DF Stat.

-4.1059

-3.4801

-3.1684

DF STATISTIC

-2.5989

-1.9455

-1.6184

Chi-Sqr

df. 2

Dari hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa asumsi stasioneritas data dapat dipenuhi secara memuaskan dengan menggunakan uji ADF (C,4) maupun ADF (T,4). Namun, pengujian stasioneritas ADF (N,4) hanya menunjukkan bahwa varaibel DM1 saja yang signifikan pada taraf 10%. Sekalipun demikian, asumsi stasioneritas data masih dapat dianggap memenuhi. Sedangkan pengujian normalitas sebaran data, secara keseluruhan menunjukkan signifikansi pada taraf 5%, 5%, dan 2.5% .

Dari hasil pengujian tersebut, maka analisis tentang kausalitas akan melangkah pada tahap kedua, yaitu pengujian kointegrasi persamaan-persamaan jangka panjangnya (Model 1, Model 2, Model 3, dan Model 4).

Pengujian Kointegrasi Engle-Granger. Uji ini ditujukan untuk mengetahui sampai dimana sifat kointegratif untuk setiap model yang dibentuk dapat ditunjukkan (model analisis VECM mensyaratkan adanya kointegrasi derajad pertama, I(0)). Di samping itu, model kointegrasi juga dapat digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam jangka panjang. Dalam kasus ini, dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4, bahwa hubungan antar variabel adalah negatif. Namun demikian pada hubungan antara variabel d(CPI)d(M1) hubungannya memiliki signifikansi yang memadai, sedangkan untuk hubungan antara variabel d(CPI) – d(M2) signifikan dalam taraf 10%. Hasil pengujian kointegrasi Engle-Granger dapat dilihat pada tabel 3.

Dari hasil perhitungan kointegrasi yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa model 1 memiliki signifikansi 1% untuk ADF (C,4), 5% untuk ADF (T,4), dan 10% untuk CRDW. Pengujian kointegrasi model 2, model 3 menunjukkan tingkat signifikansi yang memadai untuk semua jenis uji. Sedangkan untuk model 3 gagal menunjukkan signifikansinya untuk uji ADF (C,4), namun untuk dua uji lainnya signifikan secara memadai.

Tabel 3:

Pengujian Engle-Granger Cointegration


ADF (C,4)

ADF (T,4)

CRDW

Model 1: DCPI= f(DM1)

DCPI = 1.0000

DM1 = -0.019157

DF stat. –4.4488

DCPI = 1.0000

DM1 = -0.024496

TREND = -0.001725

DF Stat. –4.4571

1.525378

Model 2: DM1 = f(DCPI)

DM1 = 1.0000

DCPI = 0.031771

DF Stat. –4.1304

DM1 = 1.0000

DCPI = 0.039254

TREND = -0.011260

DF Stat. –5.4772

2.492263

Model 3: DCPI = f(DM2)

DCPI = 1.0000

DM2 = 0.061849

DF Stat. –4.3462

DCPI = 1.0000

DM2 = 0.103398

TREND = -0.008801

DF Stat. –4.5260

1.525225

Model 4: DM2 = f(DCPI)

DM2 = 1.0000

DCPI = 0.426835

DF Stat. –2.1480

DM2 = 1.0000

DCPI = 0.474538

TREND = -0.071783

DF Stat. –4.7674

1.149292

Statistic

1%

5%

10%

-4.0720

-3.4331

-3.1112

-4.5776

-3.9318

-3.6094

0.511

0.386

0.322

Karena pengujian kointegrasi menunjukkan setiap model memiliki kecenderungan terkointegrasi pada derajad nol, atau I(0), maka analisis kausalitas Vector Error Correction Model dapat dilakukan.

Vector Error Correction Model. Hasil penghitungan kausalitas VECM dapat dilihat pada tabel 4a dan pengujiannya pada tabel 4b. Dalam kasus ini, VECM dilakukan dengan menggunakan time-lag 4.

Tabel 4a:

Hasil Perhitungan Vector Error Correction Model

Sample Range: 1992.04 – 1997.07

Number of Observations: 64

Model

Uji

Model 1

Model 2

Model 3

Model 4

ECT(-1)

-4.0885

-3.5111878

-3.6093825

-1.9536212

Wald

1.0567

2.89915

1.46864

3.53614

Serial Corr. LM Test (4)

1.11387

2.01208

1.56509

3.69751

ARCH test (4)

0.90480

2.18003

0.49321

1.67204

White’s Test (4)

0.32024

0.78583

0.37634

1.00465

RESET (4)

1.11079

1.171816

1.70811

1.15971

Jarque-Bera Normality

13.79791

3.729557

15.34507

0.326262

Tabel 4b:

Signifikansi Pengujian Vector Error Correction Model

Sample Range: 1992.04 – 1997.07

Number of Observations: 64

Model

Uji

Model 1

Model 2

Model 3

Model 4

ECT(-1)

0.001

0.001

0.001

0.05

Wald

ts (0.25)

0.01 (0.005)

0.25 (0.10)

0.01 (0.005)

Serial Corr. LM Test (4)

t.s (0.10)

0.01 (0.025)

0.25 (0.05)

0.01 (0.005)

ARCH test (4)

ts (0.25)

0.10 (0.025)

ts (0.5)

0.25 (0.05)

White’s Test (4)

ts (0.05)

Ts (0.005)

ts (0.025)

ts (0.005)

RESET (4)

ts

ts

0.025

0.10

J-B Normality

0.005

0.25

0.005

0.90

Keterangan:

jika ada dua nilai uji, nilai uji yang ada di dalam kurung merupakan nilai uji chi-sqr dengan df.2

Atas dasar hasil perhitungan yang tertera pada tabel 4b, dapat disimpulkan bahwa variabel ECT, yang merupakan variabel error correction term, untuk semua model analisis memiliki tingkat signifikansi yang memadai, secara berturut-turut dari model 1 hingga model 4, yaitu: 0.1%, 0.1%, 0.1%, dan 5%. Sedangkan untuk pengujian Jointly F-test berturut-turut, tidak signifikan, 1%, 25%, dan 1%. Berdasarkan tolok ukur pengujiannya, apabila variabel error correction term dan atau uji jointly F-test signifikan maka variabel tak bebasnya dapat dianggap sebagai variabel endogen (Granger endogenity).

Hubungan kausalitas antara CPI-M1 dan CPI-M2 dapat memiliki dua dimensi kausalitas, yaitu kausalitas jangka pendek, dengan melihat signifikansi variabel tak bebas yang dideferensiasikan (dalam kasus ini disimbulkan dengan ‘d’ yaitu diferensiasi data dasar, dalam kasus ini disimbolkan dengan d2CPI, d2M1, dan d2M2. Lihat Lampiran 5 dan Lampiran 6), dan dimensi jangka panjang dengan melihat signifikansi error correction term-nya.

Hasil perhitungan dengan empat model analisis menunjukkan bahwa model 1 hanya menunjukkan kausalitas jangka panjang karena uji Wald-nya (uji terhadap variabel yang dideferensiasikan) tidak memiliki signifikansi yang memadai. Sedangkan model 2 hingga model 4 menunjukkan hubungan kausalitas, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek.

Dengan demikian, hubungan kausalitas jangka pendek antara dCPI – dM1 (model I dan II) bersifat searah, karena dalam jangka pendek dCPI tidak disebabkan oleh dM1 (model I) tetapi dM1 disebabkan oleh dCPI. Namun dalam jangka panjang hubungan kausalitas antara kedua variabel tersebut bersifat dua arah. Sedangkan untuk hubungan variabel dCPI – dM2, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek hubungan kausalitasnya memiliki signifikansi yang memadai.

Dalam hubungan kausalitas jangka pendek, disamping uji Wald perlu juga dilihat signifikansi untuk setiap variabel yang dideferensiasikan. Dengan menggunakan dasar hasil perhitungan VECM (lihat Lampiran 5 dan Lampiran 6), dapat dilihat bahwa, model 1 (dCPI-dM1) hanya d2M1(-3) saja yang signifikan, itupun dalam taraf yang minimal, yaitu 25%. Sementara itu, untuk model II (dM1-dCPI), variabel bebas d2CPI(-3) dan d2CPI(-4) memberikan tingkat signifikansi yang relatif tinggi, yaitu masing-masing 1% dan 2.5%. Sementara itu, model III hanya menunjukkan bahwa dM2(-2) memiliki signifikansi 5%. Sedangkan model IV menunjukkan bahwa dCPI(-1), dCPI(-3) dan dCPI(-4) memiliki signifikansi masing-masing 25%, 0.5% dan 10%.

KESIMPULAN

Dari uraian tentang hasil perhitungan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:

  1. M1 hanya dipengaruhi oleh CPI dalam jangka pendek, sedangkan hubungan kausalitas jangka panjangnya tidak teridentifikasi secara jelas.
  2. CPI dipengaruhi oleh M1, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek (CPI – M1). Demikian juga halnya dengan CPI – M2 maupun M2 – CPI.
  3. Dengan terdeteksinya kausalitas antara CPI – M2, serta M2 – CPI maka diktum inflasi sebagai fenomena moneter memperoleh buktinya pada perekonomian Indonesia 1991.10 – 1997.07

REFERENSI

DeJong, D.N., (et.al), 1992, Integration Versus Trend Stationarity in Time Series, Econometrica, 60 (2): 423-433.

Dickey, D.A., and W.A.Fuller, 1981, Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series with a Unit Root, Econometrica, 49: 1057-1072.

Granger, C.W.J., 1988, Some Recent Developments in a Concept of Causality, Journal of Econometrics, 39: 199-211.

Johansen, S., 1991, Estimation and Hypothesis Testing of Cointegration Vectors in Gaussian Vector Autoregressive Models, Econometrica, 59 (6): 1551-1580.

Masih, R., and M.M.Masih, 1996, Macroeconomic Activity Dynamics and Granger Causality: New Evidence from a Small Developing Economy Based on a Vector Error Correction Modelling Analysis, Economic Modelling, 13: 407-426.

Nusantara, A., 1997, Sintesa Granger Causality-Error Correction Model: Kausalitas Ekspor-Pertumbuhan Ekonomi Indonesia,

Oskooee, M.B., and J. Alse, 1993, Exports Growth and Economic Growth: An Application of Co-integration and Error Correction Modelling, Journal of Developing Areas, 27: 535-542.

Oskooee, M.B., and J.Alse, 1993, Export Growth and Economic Growth: An Application of Cointegration and Error Correction Modeling, The Journal of Developing Areas, 27: 535-542.

Stock, J.H. and M.W.Watson, 1993, A Simple Estimator of Cointegrating Vectors in Higher Order Integrated Systems, Econometrica, 61 (4): 783-820.

Toda, H.Y., and P.C.B.Phillips, Vector Autoregressions and Causality, Econometrica, 61 (6): 1367-1393.