Minggu, 22 November 2009

CONTOH PERILAKU TIDAK ETIS:
1. penjualan produk ke luar negeri yang sudah terbukti merusak kesehatan dan tidak diperbolehkan didalam negeri
2. perusahaan makanan bayi yang memaksakan suatu formula bagi bayi dibanyak negara miskin sementara air susu ibu akan lebih sehat bagi bayi
3. mengambil barang-barang kantor untuk dibawa pulang
4. berbohong dengan alasan sakit untuk menutupi pekejaan yang tidak beres
5. perusahaan membayar upah pekerja yang rendah dibeberapa negara berkembang untuk membuat sepatu mereka yang berharga tinggi
6. penipuan produk yang tidak sesuai dengan yang ditawarkan
7. penjualan produk yang sudah kadarluwarsa

Etika bisnis di Malaysia

Oleh: M Iqbal Maulana

”Becoming knowledgeable in every country's "silent language" of etiquette is essential for developing good business relationships overseas. One of the first things you need to do is mind your meeting manners”.(Ann Marie Sabath, dalam bukunya "International Business Etiquette: Asia and The Pacific Rim”, 1999).

SEORANG pengusaha sejati akan terus melakukan inovasi dalam menjalankan bisnisnya, salah satunya adalah melakukan ekspansi bisnis di luar negeri. Langkah pertama yang dilakukan tentu memilih negara tujuan yang memiliki potensi keuntungan menggiurkan.

Tidak perlu jauh melirik pasar yang berjarak beribu-ribu mil jauhnya. Seperti kata pepatah,”gajah di seberang lautan tampak, semut di pelupuk mata tak tampak”, terkadang kita melupakan potensi yang dekat dengan negara tetangga kita, Malaysia. Memulai bisnis di negeri jiran tidaklah susah, mengingat mayoritas penduduk Indonesia dan Malaysia berasal dari rumpun yang sama, yaitu melayu dengan berbagai persamaan sifat dan tinglah laku.

Meski demikian, perbedaan budaya tetaplah ada, dan terkadang bertolak belakang satu sama lain. Melakukan sebuah kesalahan dalam memulai bisnis tentu akan menyebabkan hilangnya potensi keuntungan yang seharusnya dapat diraih. Ann Marie Sabath dalam bukunya "International Business Etiquette: Asia and The Pacific Rim” menyatakan, sebelum memulai bisnis di negaranegara kawasan Asia Pasifik, pebisnis harus mempelajari etika bisnis yang berlaku di setiap negara, karena mereka mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.

Guna lebih memantapkan upaya kita memulai bisnis di Malaysia, dalam tulisan berikut akan disampaikan beberapa tips dalam proses bisnis dengan Malaysia. Disarikan dari website www.executiveplanet.com, akan disampaikan informasi cara berpakaian (business dress), membuat janji pertemuan (making an appointment), tips melakukan pembicaraan (doing conversation) dan melakukan kontrak bisnis (making a deal).

BUSINESS DRESS

Malaysia beriklim panas dan lembab sepanjang tahun. Suhu udara berkisar antara 24-35 derajat Celcius dan kelembaban antara 60 dan 70 persen. Dengan situasi ini, pakaian berbahan katun dan linen yang tipis adalah pilihan yang terbaik. Sebagai seorang asing, jenis dan warna pakaian yang konservatif lebih aman digunakan pada pertemuan bisnis pertama sebelum kita mengetahui dengan pasti counterpart kita.

Hindari warna kuning karena warna tersebut biasa digunakan oleh keluarga Kerajaan Malaysia. Pakaian standar resmi kantoran untuk pria adalah celana panjang warna gelap dan kemeja lengan panjang dengan warna cerah lengkap dengan dasi, tanpa jas. Meski demikian, banyak juga pebisnis yang tidak mengenakan dasi karena kurang nyaman.

Meski demikian, pilihan baju bisnis yang teraman untuk pria pebisnis asing dari luar Malaysia adalah mengenakan setelan jas dan dasi, yang bisa dilepas sewaktu-waktu sesuai kondisi di lapangan. Sedangkan pakaian bisnis untuk perempuan adalah setelan blus lengan panjang dan rok dengan warna terang. Celana panjang tidak biasa digunakan di beberapa perusahaan Malaysia.

Dengan memperhatikan kepercayaan agama Islam, pakaian perempuan harus menggunakan blus yang setidaknya menutup lengan bagian atas dan rok harus selutut atau lebih panjang.

MAKING AN APPOINTMENT

Salah satu hal dasar dalam bisnis adalah melakukan pertemuan bisnis, yang harus dipersiapkan dengan matang agar menghasilkan hasil maksimal. Berkaitan dengan hal ini, para pebisnis asing harus mengetahui jam kerja (office hours) di Malaysia sebelum membuat janji pertemuan.

Secara umum, jam kerja di Malaysia dimulai dari jam 8 pagi sampai dengan jam 5 sore dengan waktu istirahat makan siang mulai pukul 12 sampai dengan pukul 1 siang. Sementara hari kerja yang berlaku adalah lima hari kerja mulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat. Jam kerja untuk Kantor pemerintah adalah pukul 8.30 pagi sampai dengan 4.45 sore.

Pada hari Sabtu kantor pemerintah buka dari pukul 8.30 pagi sampai dengan 12 siang. Selain itu, terdapat pula beberapa negara bagian yang mengikuti hari kerja sesuai agama Islam, yaitu mulai dari hari Sabtu sampai dengan hari Rabu. Hal ini diterapkan di negara bagian Perlis, Kedah, Kelantan, Trengganu, dan Johor. Adapun libur hari besar diterapkan berbeda- beda di masing-masing negara bagian.

Berbekal informasi dasar bahwa mayoritas penduduk Malaysia adalah muslim, maka sebaiknya jadwal pertemuan tidak dilaksanakan di sekitar waktu shalat, terutama pada hari Jumat siang saat orang melakukan shalat Jumat. Biasanya pada hari itu banyak perusahaan yang buka hanya separuh hari. Cobalah untuk membuat janji pertemuan setidaknya dua minggu sebelumnya, atau bahkan sebulan sebelumnya.

Dalam mengatur waktu pertemuan, kita juga harus mengenal counterpart kita. Mayoritas pengusaha Malaysia merupakan suku bangsa Cina yang terbiasa untuk disiplin dengan waktu, sehingga pertemuan dapat dilaksanakan on time. Sementara sebagian besar pegawai pemerintahan adalah etnis Melayu yang lebih santai dalam menghormati waktu. Karena itu, tidak perlu kaget dengan waktu pertemuan yang mengalami keterlambatan.

DOING CONVERSATION

Pembicaraan bisnis biasanya tidak secara langsung, tapi dimulai dengan diskusi hal-hal ringan, seperti seputar keluarga, olahraga, seni, masakan lokal, perjalanan dan tempat tujuan wisata. Pembicaraan itu merupakan sebuah cara untuk saling mengenal satu sama lain dan membuat orang lain dapat lebih menerima kita. Selain itu kita juga harus siap menerima beberapa pertanyaan yang bersifat pribadi, seperi status perkawinan, pendapatan dan bahkan berat badan.

Apabila kita merasa kurang nyaman dalam menjawabnya, usahakan untuk menghindarinya dengan ramah. Jangan sampai kita menanggapinya dengan ekspresi yang dapat membuat si penanya merasa malu. Tidak ada salahnya kita memberikan buah tangan kepada rekan bisnis kita, namun pilihan harus ditentukan agar tidak menimbulkan kesan negatif, seperti misalnya penyuapan apabila diberikan kepada pegawai pemerintah.

Hal yang perlu dihindari adalah membungkus hadiah dengan kertas putih, karena hal tersebut identik dengan kematian dan kemuraman. Juga hindari bungkus dengan warna biru, hitam dan kuning. Warna yang aman adalah warna hijau dan merah.

MAKING A DEAL

Sekarang kita memasuki tahap yang paling penting, yaitu membuat perjanjian bisnis. Jangan kaget apabila negosiasi biasanya berjalan lambat dan panjang, karena mereka membutuhkan waktu untuk saling mengenal. Menurut Ann Marie Sabath, kepercayaan adalah sebuah modal yang sangat penting di Malaysia.

Oleh karena itu, melakukan beberapa perjalanan bisnis ke Malaysia sebelum membuat sebuah kontrak adalah hal yang disarankan. Beberapa sifat dasar etnis Melayu yang muncul dalam proses negosiasi adalah subyektivitas, mereka biasanya memecahkan masalah berdasarkan pendapat pribadi mereka, yang bercampur dengan kepercayaan agama. Konsep dari luar budaya mereka hanya diterima apabila terdapat unsur kesamaan agama Islam.

Meski demikian, mereka cenderung tidak memberikan jawaban secara tegas dan langsung sebagai cara menghindari konfrontasi, misalnya dengan sengaja mengabaikan suatu pertanyaan, atau menyatakan “tidak” dengan ungkapan “ya, tapi…”. Oleh karena itu, hal tersebut harus dihadapi dengan tenang tidak mengungkapkan kekecewaan. Hal ini akan menunjukkan bahwa kita dapat mengontrol diri kita dan tidak membiarkan mereka mengontrolnya.

Dalam bernegosiasi dengan orang Malaysia, biasanya pembicaraan terhenti sejenak sekitar 10-15 detik menjelang waktu pembuatan kesepakatan. Apabila hal ini terjadi, tidak perlu menerjemahkannya sebagai suatu penolakan atau persetujuan. Mereka biasa melakukannya untuk mempertimbangkan sesuatu sebelum akhirnya memberikan jawaban final. Apabila dicapai kesepakatan, maka kontrak bisnis antara kedua belah pihak siap untuk ditandatangani.

Dalam hal ini. transaksi dan korespondensi biasanya dilakukan dalam bahasa Inggris. Jangan kaget apabila pengusaha Malaysia dari etnis Cina biasanya menunda penandatangan kontrak beberapa hari, karena mereka terkadang membutuhkan konsultasi dengan ahli perbintangan untuk menentukan “hari keberuntungan”. Satu hal terakhir yang paling penting harus kita ketahui tentang kebiasaan bisnis pengusaha Malaysia, adalah jangan menganggap penandatangan kontrak adalah kesepakatan final.

Menurut Ann Marie Sabath, “written contracts aren't regarded as set in stone.” Kontrak tertulis tidak dianggap sebagai suatu harga mati, karena tidak menutup kemungkinan rekan bisnis kita akan berupaya melakukan negosiasi ulang. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah perhatian dari pengusaha Indonesia juga harus mengenai perlindungan hak cipta dari barang produksinya, karena terdapat kecenderungan barangbarang produksi Indonesia mulai dicontoh dan direproduksi di Malaysia, misalnya Batik dan Jamu. Oleh karena itu, mendaftarkan hak paten suatu produk adalah suatu keharusan.


sumber: http://www.aksesdeplu.com/Etika%20bisnis%20Malaysia.htm

Sabtu, 21 November 2009

Etika Bisnis : Skandal WorldCom, Akhir Internet AS?
Posted by : pencegahan on 2007/3/28 10:17:24 (4002 reads)

Posted by sp18 under Artikel IT Kejatuhan WorldCom Inc di AS terus mengundang gejolak. Betapa tidak, hampir setengah dari traffic internet di Negeri Paman Sam keluar-masuk "backbone" ISP-nya, bahkan 70 persen dari total e-mail yang dikirmkan dari AS. Semua pihak terbelalak dengan getasnya perusahaan internet negeri Adidaya. Inikah akhir era internet, atau sekadar bagian dari teori seleksi alam?

Sejumlah analis memperkirakan sebuah perusahaan telekomunikasi raksasa akan menghadapi masalah kebangkrutan, kendati CEO WorldCom John Sidgmore Selasa kemarin (2/7) menyatakan dirinya berharap perusahaannya tidak. Tapi wajar saja kekhawatiran itu datang, menyangkut para pelanggan internet WorldCom. "Internetnya sendiri tahan goncangan," ujar Joel Yaffe, analis Giga Information Group. Paling tidak, fobia terhadap kelangsungan bisnis internet di AS tetap terjadi. Pihak Demokrat di Kongres meminta pemerintah untuk melakukan intervensi langsung untuk mencegah kehancuran WorldCom. Perusahaan tersebut diberitakan melakukan penyimpangan pengeluaran senilai 4 miliar dolar. Akibat pengungkapkan skandal tersebut, saham WorldCom ambruk seketika, menyebabkan sejumlah perusahaan sekuritas dan Komisi Bursa Efek menimpakan tuduhan penipuan. Lantas, muncul sejuta pertanyaan dari sejumlah politikus dan investor. WorldCom memang memberi efek domino bagi bisnis internet di AS. UUNet misalnya, adalah anak perusahaan yang menjadi "backbone" internet Amerika, yang memiliki koridor "superhighway" yang menghubungkan lalu-lintas internet antarkota dan benua menuju AS. Sidgmore menyatakan, UUNet menampung lebih dari 50 persen traffic internet AS, termasuk 70 persen dari seluruh e-mail yang dikirim dari AS, serta setengah dari e-mail yang dikirim dunia. Prestasi ini setara dengan KPNQwest di Eropa, yang menangani lebih dari setengah traffic internet di sana. Bahkan ribuan perusahaan di 100 negara saat ini bergantung pada akses internet WorldCom, termasuk Departmen Pertahanan dan Departemen Dalam Negeri AS sendiri. Kenyataan ini membuat kantor Keamanan Negara berani menjamin layanan Worldcom tidak akan terputus. Senator Republiken asal Massachusetts Edward Markey yang menjadi anggota Komite Perdagangan dan Energi Senat (subkomite internet) meminta kepada ketua Komisi Komunikasi Federal Michael Powell untuk mengambil langkah yang dianggap perlu agar tidak terjadi pemutusan layanan. "Pokoknya, tak ada alasan network UUNet akan bermasalah, bahkan dalam kondisi apapun," jamin Sidgmore. Sejumlah pakar memperkirakan pemerintah dan ratusan perusahaan tyerkait tak akan tega membiarkan UUNet mati. "Tak akan da yang rela membiarkannya mati melihat traffic yang begitu besar," tukas analis Yankee Group, Courtney Quinn.

sumber: http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2052
Etika Bisnis : Langgar Hak Paten, Ericsson Gugat Samsung
Posted by : pencegahan on 2007/4/2 15:30:00 (5634 reads)

Dewi Widya Ningrum – detikInet
http://www.detikinet.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/02/tgl/27/time/090814/idnews/547796/idkanal/399

Jakarta, Raksasa perangkat jaringan mobile Ericsson melayangkan gugatan terhadap pembuat ponsel Samsung Electronics. Gugatan ini diajukan karena Samsung dituduh telah melanggar hak paten.

"Kami sudah melayangkan gugatan hukum kepada Samsung terkait pelanggaran hak paten di Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Belanda," kata Ase Lindskog, juru bicara Ericsson. Menurut Lindskog, pihaknya telah melakukan negosiasi besar dengan Samsung terkait pembaharuan lisensi. "Kesepakatan mereka dengan kami telah berakhir sejak 31 Desember tahun lalu," ujarnya lagi.

Masalahnya, Samsung masih memakai paten ponsel yang tidak berlisensi lagi. Ketika dikonfirmasi, juru bicara Samsung di Seoul masih enggan mengomentari masalah ini.

Entah iri atau ingin menjatuhkan rival, yang jelas kasus pelanggaran paten dan perlawanan legal lainnya sudah sering bahkan biasa terjadi di sektor teknologi. Bisa jadi karena perusahaan telah menghabiskan banyak dana untuk penelitian dan pengembangan (R&D).

Selain Samsung, Ericsson juga pernah menggugat Qualcomm. Tahun lalu Ericsson pernah mengadu ke Uni Eropa karena Qualcomm dituduh telah 'mencekik' kompetisi di pasar chip ponsel.

Kembali ke gugatan terhadap Samsung. Lindskog mengatakan beberapa paten teknologi yang digugat Ericsson kepada Samsung adalah GSM (Global System for Mobile Communications), GPRS (General Packet Radio Service) dan EDGE (Enhanced Data rates for GSM Evolution).

"Ini adalah tindakan yang patut disayangkan, tetapi kami harus melindungi para pemegang saham dan investor kami karena kami sudah menginvestasikan banyak dana di R&D selama bertahun-tahun," kata Lindskog. Demikian dilansir detikINET dari Reuters, Senin (27/02/2006). (dwn)

sumber: http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2077

Etika Bisnis : Memburu software ilegal sampai ke dapur perusahaan
Posted by : pencegahan on 2007/5/3 14:30:00 (5687 reads)

sumber: Suwantin Oemar; Bisnis Indonesia (11 April 2005) Perusahaan swasta, yang masih menggunakan software ilegal untuk tujuan komersial, tampaknya harus berpikir dua kali untuk meneruskan penggunaan peranti lunak itu pada personal computer mereka. Bila tidak menggantinya dengan software resmi, maka bersiaplah untuk berhadapan dengan penegak hukum.

Ada sebuah kejadian menarik soal penggunaan software ilegal di perusahaan swasta. Tahun lalu, sebuah perusahaan tergolong besar di Jakarta tiba-tiba didatangi oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum datang setelah menerima informasi yang kuat bahwa perusahaan itu menggunakan banyak software ilegal untuk kepentingan bisnis mereka. Dugaan penegak hukum ternyata tidak meleset. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan banyak personal computer menggunakan software tidak resmi alias ilegal, sehinga polisi saat itu juga langsung melakukan penyegelan terhadap PC perusahaan. Memang tidak semua PC di perusahaan tersebut yang disegel oleh polisi karena banyak juga yang menggunakan software resmi.

Modus operandi yang dilakukan oleh perusahaan itu adalah dengan cara membeli beberapa software resmi, kemudian perusahaan itu menggandakannya melebihi kuota yang diizinkan. Biasanya satu software untuk satu personal computer, tapi ada juga satu software untuk beberapa komputer misalnya 10 komputer sesuai dengan perjanjian, tapi si perusahaan tersebut menggandakannya melebihi kuota yang diizinkan. Penggandaan itu bisa saja bukan merupakan kebijakan dari perusahaan atau hanya merupakan inisiatif dari karyawan, tapi bagaimanapun juga yang bertanggungjawab terhadap pemakaian software ilegal itu adalah perusahaan.

Kasus yang dialami oleh perusahaan tersebut di atas bisa dijadikan contoh dan sebagai peringatan bagi perusahaan swasta lain untuk menghindari penggunaan software ilegal, kecuali perusahaan mau menghadapai tuntutan hukum. Bakan tidak mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi akan banyak perusahaan yang bakal terkena razia atau penyegelan personal computer oleh aparat penegak hukum di perusahaan. Business Softare Alliance (BSA)-suatu perkumpulan industri yang bergerak di software AS-sudah menyatakan 'perang' dan akan terus melacak penggunaan software ilegal oleh perusahaan swasta dengan cara melibatkan masyarakat melalui sayembara berhadiah Rp50 juta bagi siapa saja yang memberikan informasi yang akurat dan tepat tentang penggunaan software ilegal di perusahaan.

Informasi yang masuk ke BSA bisa saja dari masyarakat luas, bisa saja dari karyawan perusahaan itu sendiri yang tidak loyal, sehingga mereka memberikan informasi kepada BSA. Jika hal demikian terjadi, maka perusahaan Anda akan menjadi target aparat penegak hukum dan besiaplah untuk menerima kedatangan polisi dan personal computer Anda yang kedapatan menggunakan software tidak resmi akan disegel. Gunawan Suryomurcito, Ketua Perhimpunan Masyarakat HaKI mengemukakan bahwa razia atau penggerebekan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sampai ke perusahaan itu sah-sah saja, asalkan petugas memiliki data dan informasi yang akurat untuk itu.

Dasar untuk melakukan penggeberakan atau penyegelan terhadap end user software ilegal adalah Pasal 72 ayat 3 Undang Undang Hak Cipta (UU No.19/2002) Dasar hukum "Bila ternyata sebuah perusahaan menggunakan software tidak resmi untuk tujuan komersial, maka kepada mereka bisa dikenakan pasal tersebut di atas, "kata Gunawan. Pasal 72 ayat 3 UU Hak Cipta berbunyi "Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta." Mengapa perusahaan swasta kini jadi sasaran aparat untuk menertibkan dan menegakan hukum di bidang hak cipta?

"BSA menduga banyak perusahaan swasta di Indonesia yang menggunakan software ilegal untuk tujuan komersial. Mereka menikmati keuntungan atas pemakaain software tidak resmi. Ini kan tidak fair," katanya. Pemakaian produk ilegal tersebut sebenarya tidak saja terjadi perusahaan swasta, tapi juga instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Bahkan, pemakaian software ilegal di instansi pemerintah tidak kalah hebatnya. Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah instansi pemerintah dan lembaga pendidikan juga akan menjadi sasaran razia atau penggerebekan?. "Untuk lembaga pendidikan kan sudah ada paket khusus yang harganya jauh lebih murah. Tapi, saya rasa target pertama adalah perusahaan swasta."

Menurut Gunawan, sayembara yang dilakukan oleh BSA dalam rangka penegakan hukum di bidang hak cipta akan berdampak positif, sehingga diharapkan perusahaan mau melegalkan software yang tidak resmi, sehingga semuanya beralih ke produk resmi. Dia mengemukakan bahwa hingga kini belum ada kebijakan teknologi informasi dari perusahaan swasta, sehingga kalau ada karyawan yang menggunakan software ilegal di kantor, maka hal itu tetap saja menjadi tanggungjawab perusahaan. Konon kini sudah ada satu instansi pemerintah yang membuat batasan yang jelas soal penggunaan software ilegal tersebut. Instansi pemerintah itu sudah memiliki komitmen menggunakan semua software legal di lingkungannya, sehingga bila ada kedapatan produk ilegal pada personal computer karyawan, maka hal itu akan menjadi tanggungjawab mereka sendiri.

Tujuan komersial Kita tidak tahu apakah sudah ada kebijakan dari perusahaan swasta soal penggunaan software tersebut, padahal banyak perusahaan swasta yang menjalan operasional untuk tujuan komersial dengan menggunkan software ilegal. Sebelum UU Hak Cipta yang baru diberlakukan, pernah juga dilakukan seperti itu dan ternyata efektif, tapi end user tidak dapat dikenakan tindakan hukum karena pasal untuk menjeratnya waktu itu belum ada. "Dengan Undang Undang Hak Cipta yang baru dapat dilaksanakan karena ada pasal 72 ayat 3," katanya. Dia mengemukakan bahwa pengusaha swasta hendaknya perlu mengubah pemahaman soal piranti lunak ini. Dulu software dianggap bagian dari hardware. Dengan adanya UU Hak Cipta yang baru, maka pemahanan perusahaan hendaknya perlu diubah.

"Software itu merupakan aset, sedangkan dulu dianggap cost." Gunawan mengakui bahwa harga software ilegal atau bajakan jauh lebih murah dari produk resmi. Dia memberi contoh harga software autocad berkisar US$3000, sedangkan harga tidak resmi atau produk bajakan bisa didapat di Glodok, Jakarta Pusat berkisar ratusan dolar atau ratusan ribu rupiah. Tapi, tegasnya, jangan lupa banyak juga ruginya menggunakan produk tidak resmi."Software bajakan tidak dapat dilakukan updating, kalau ada kesulitan terhadap software maka tidak ada after sales service-nya. Ini hendaknya menjadi perhatian juga bagi perusahaan,"katanya Selain itu, menurut dia, maraknya penggunaan software ilegal juga berdampak negatif terhadap perkembangan industri tersebut di dalam negeri.

"Orang akan malas berkreasi untuk menciptakan suatu hasil karya karena kuranganya perlindungan hukum terhadap para penciptanya," tambahnya. Industri AS yang berbasis hak cipta memang memiliki kepentingan terhadap penegakan hukum hak cipta karena pasar mereka digerogoti oleh peredaran produk bajakan, yang jumlahnya cukup besar. Menurut laporan tahunan yang diterbitkan oleh IIPA (International Intellectual Property Alliance) perkiraan kerugian industri berbasis hak cipta AS di seluruh dunia, termasuk di AS pada tahun 2004 berkisar US$23 miliar-US$30 miliar. Jumlah tersebut belum lagi termasuk kerugian pembajakan melalui internet. IIPA mencatat kerugian industri AS mencapai sedikitnya US$203,6 juta akibat pembajakan hak cipta di Indonesia. Kerugian tersebut berasal dari pembajakan film US$32juta, musik US$27,6 juta dan piranti lunak US$112 juta serta buku US$32 juta. Dalam laporan tersebut juga disebutkan tingkat pembajakan hak cipta baik film, musik, software dan buku di Indonesia masih relatif tinggi yaitu rata-rata sekitar 86,3 persen dengan rincian film (92 persen ), musik (80 persen ) dan software (87 persen). Menurut laporan ekonomi berjudul Industri hak cipta dalam ekonomi AS yang dirilis oleh IIPA pada Oktober 2004 terungkap kontribusi sektor industri berbasis hak cipta terhadap Gross Domestic Product (GDP) AS cukup besar.

IIPA adalah gabungan dari enam asosiasi, termasuk Business Software Alliance (BSA) yang mewakili kepentingan industri yang berbasis hak cipta Amerika Serikat. Anggota asosiasi ini mewakili sedikitnya 1.300 perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan produk yang dilindungi oleh undang undang hak cipta. Yang jelas BSA sudah melakukan terebosan untuk menegakkan hukum di bidang software. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah cara-cara seperti itu sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Jangan sampai cara seperti itu justru menimbulkan masalah hukum baru.

sumber:http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2103


ETIKA DALAM BISNIS
ANDERSON GUNTUR KOMENAUNG
Fakultas Ekonomi dan Magister Ekonomi Pembangunan
Universitas Sam Ratulangi, Manado
Email: komeguntur@yahoo.com

ABSTRACT
Ethics is a branch of philosophy related with kindliness or rightness or morality of behavior of human being. In this understanding ethics interpreted as rules which cannot be impinged from behavior which accepted by society as well or bad. While determination of good and bad is a problem always change. Ethics of business is standards of value becoming reference or guidance of manager and whole employees in decision making and operate business which ethics. Ethics paradigm and business is world differ its time has come altered to become ethics paradigm related to business or synergy between ethics and profit. Exactly in tight competition era, company reputation which good and based on by business ethics is an advantage competitive which difficult to be imitated. Therefore, ethics behavior is needed to reach long-range success in a business.
Key Words: Ethics, Business, Moral

ABSTRAK
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai baik atau buruk. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.
Kata Kunci: Etika, Bisnis, Moral

PENDAHULUAN
Permasalahan Etika dalam Bisnis
Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggung jawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahan yang sudah berbelatung.

Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis. Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika
Serikat.

Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada perusahaan. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia.

Sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai duatiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa (lihat Iman, 2006).

Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika
Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.

Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut.

Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula, Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah
etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

BERBISNIS DENGAN ETIKA
Epistemologi Etika Bisnis
Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219), Moral = moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan); Moralitas = kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan secara etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik. Uno (2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopan santun) berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama.

Jika kata etika dikaitkan dengan kata bisnis akan menjadi Etika Binis (business ethics). Steade et al (1984: 701) dalam bukunya ”Business, Its Natura and Environment An Introduction” memberi batasan yakni, ”business ethics is ethical standards that concern both the ends and means of business decision making”.

Definisi etika bisnis menurut Business & Society - Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz, ?: dalam Iman, 2006):
Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and
equity.

Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility - Why Giants Fall, menyebutkan: Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public.

Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
• Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or values.
• Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
• Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of right and wrong in behavior.

Etika bisnis sendiri terbagi dalam:
• Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions (DeGeorge, 2002)
• Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values (Bunchholtz and Rosenthal, 1998). Memang diakui oleh Steade et al. (1984: 584) bahwa menunjuk sesuatu secara tepat yang merupakan perilaku bisnis secara etik bukanlah suatu tugas gampang. Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan perilaku secara etik (ethical behavior) dengan perilaku legal (legal behavior) – yaitu, jika suatu tindakan adalah legal (syah), mereka harus dapat diterima. Kebanyakan penduduk, termasuk manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada bisnis harus dipatuhi. Namun, mereka melihat batas-batas legal ini sebagai suatu titik pemberangkatan untuk perilaku bisnis dan tindakan manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika merefleksikan hukum ditambah tindakan etika masyarakat, moral (kesusilaan), dan nilia-nilai seperti digambarkan pada Gambar 1. Pada gilirannya formulasi hukum mengikuti suatu tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara per lahan muncul dua, yaitu adanya suatu hubungan ”give-and take” antara apa yang ”legal” dan apa yang ”cara etik”.

Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata etik juga berhubungan dengan objek kelakuan manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good) atau buruk (bad)”. Catatan tanda kutip pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan bahwa penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika adalah keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi. Keputusan ini merefleksikan banyak faktor, termasuk moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat.

Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan.

Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain (Dalimunthe, 2004).

Etika dan moral (moralitas) sering digunakan secara bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos dari mana ”ethics” berasal dan kata latin mores dari mana ”morals” diturunkan keduanya artinya kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral (morals) berbeda dari etika (ethics), yang mana di dalam moralitas terkandung suatu elemen-elemen normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari (inevitable normative elements). Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan tidak hanya
apa yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya. Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan (oughtness)”, konflik dengan aspek-aspek perubahan etika bisnis.

Nilai-nilai (values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara etik apakah mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan pada evaluasi secara kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.

Etika Bisnis: Suatu Kerangka Global
Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft), Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman, ?), yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun 'pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak
mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadiah.
2. Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
3. Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
4. Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara mereka yang 'disukai' dan tidak.

Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan
suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis.

Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung. Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi.

Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya
pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.

Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b) Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro.
Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :
a. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
b. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan ancaman atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
c. Deceptive information
d. Pecurian dan penggelapan
e. Unfair discrimination.

2. Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.

Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan kesamaan.

Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social; (2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti
rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.

Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang
yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan.

Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".
2. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.
3. Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha
Untu menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Memelihara Kesepakatan
Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif
Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi.

Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya,
pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi.

Tiga Prinsip Universal Kasus yang paling gampang adalah Enron, sebuah perusahaan enerji yang
sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau
biasa disebut “spark spread“.

Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar kedelapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis. Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen. Bisa saja kita menipu seseorang, tetapi tak akan mungkin selamanya menipu, kan? Apa enaknya hidup penuh tipu-tipu yang tidak akan pernah menentramkan batin. Kasus Enron membuktikan bahwa pelaku bisnis yang curang akan menunggu waktu saja masuk jurang, sedangkan yang jujur tidak akan pernah hancur dan menunggu waktu saja untuk mujur. Hal ini dijastifikasi oleh hukum besi yang tidak bisa dielakkan oleh siapan karena menyangkut nasib manusia, termasuk pelaku-pelaku bisnis kotor atau tidak beretika yang penuh tipu-tipu yaitu, ”Hukum Sebab-Akibat”, ”Aksi-Reaksi”, dan ”Menabur-Menuai” adalah kebenaran sepanjang zaman, prinsip universal yang telah ada sejak awal sejarah. Dalam Agama Hindu rangkuman ketiga hukum besi ini tidak lain adalah ”Karma- Pahala”, di mana Karma = Sebab, Aksi, Menabur, dan Pahala = Akibat, Reaksi, Menuai. Artinya, apapun yang diperbuat oleh seseorang, kelak itulah yang Dia petik. Jika seseorang berbuat jahat
terhadap orang lain, maka hasil kejahatan yang akan mereka nikmati, sebaliknya jika perbuatan baik mereka taburkan maka hasil perbuatan baik yang akan mereka tuai atau hasilkan.

P E N U T U P

1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.
2. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.
3. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.

Sumber:http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/(12)soca-anderson-etikabisnis(1).pdf

Jumat, 20 November 2009

ETIKA DAN BISNIS

• Apa itu “etika bisnis”?
• Apa saja enam tingkatan dalam membangun moral?
• Perlukah standar moral diaplikasikan dalam bisnis?
• Kapan seseorang secara moral bertanggung jawab untuk perbuatan salahnya?
Tidak ada cara yang paling baik untuk memulai penelaahan hubungan antara etika dan
bisnis selain dengan mengamati, bagaimanakah perusahaan riil telah benar-benar
berusaha untuk menerapkan etika ke dalam bisnis. Perusahaan Merck and Company
dalam menangani masalah “river blindness” sebagai contohnya ;
River blindness adalah penyakit sangat tak tertahankan yang menjangkau 18 juta
penduduk miskin di desa-desa terpencil di pinggiran sungai Afrika dan Amerika Latin.
Penyakit dengan penyebab cacing parasit ini berpindah dari tubuh melalui gigitan lalat
hitam. Cacing ini hidup dibawah kulit manusia, dan bereproduksi dengan melepaskan
jutaan keturunannya yang disebut microfilaria yang menyebar ke seluruh tubuh dengan
bergerak-gerak di bawah kulit, meninggalkan bercak-bercak, menyebabkan lepuh-lepuh
dan gatal yang amat sangat tak tertahankan, sehingga korban kadang-kadang
memutuskan bunuh diri.
Pada tahun 1979, Dr. Wiliam Campbell, ilmuwan peneliti pada Merck and Company,
perusahaan obat Amerika, menemukan bukti bahwa salah satu obat-obatan hewan yang
terjual laris dari perusahaan itu, Invernectin, dapat menyembuhkan parasit penyebab river
blindness. Campbell dan tim risetnya mengajukan permohonan kepada Direktur Merck,
Dr. P. Roy Vagelos, agar mengijinkan mereka mengembangkan obat tersebut untuk
manusia.
Para manajer Merck sadar bahwa kalau sukses mengembangkan obat tersebut, penderita
river blindness terlalu miskin untuk membelinya. Padahal biaya riset medis dan tes klinis
berskala besar untuk obat-obatan manusia dapat menghabiskan lebih dari 100 juta dollar.
Bahkan, kalau obat tersebut terdanai, tidak mungkin dapat mendistribusikannya, karena
penderita tinggal di daerah terpencil. Kalau obat itu mengakibatkan efek samping,
publisitas buruk akan berdampak pada penjualan obat Merck. Kalau obat murah tersedia,
obat dapat diselundupkan ke pasar gelap dan dijual untuk hewan,sehingga
menghancurkan penjualan Invernectin ke dokter hewan yang selama ini menguntungkan.
Meskipun Merck penjualannya mencapai $2 milyar per tahun, namun pendapatan
bersihnya menurun akibat kenaikan biaya produksi, dan masalah lainnya, termasuk
kongres USA yang siap mengesahkan Undang-Undang Regulasi Obat yang akhirnya
akan berdampak pada pendapatan perusahaan. Karena itu, para manajer Merck enggan
membiayai proyek mahal yang menjanjikan sedikit keuntungan, seperti untuk river
blindness. Namun tanpa obat, jutaan orang terpenjara dalam penderitaan menyakitkan.
Setelah banyak dilakukan diskusi, sampai pada kesimpulan bahwa keuntungan
manusiawi atas obat untuk river blindness terlalu signifikan untuk diabaikan. Keuntungan
manusiawi inilah, secara moral perusahaan wajib mengenyampingkanbiaya dan imbal
ekonomis yang kecil. Tahun 1980 disetujuilah anggaran besar untuk mengembangkan
Invernectin versi manusia.
Tujuh tahun riset mahal dilakukan dengan banyak percobaan klinis, Merck berhasil
membuat pil obat baru yang dimakan sekali setahun akan melenyapkan seluruh jejak
parasit penyebab river blindness dan mencegah infeksi baru. Sayangnya tidak ada yang
mau membeli obat ajaib tersebut, termasuk saran kepada WHO, pemerintah AS dan
pemerintah negara-negara yang terjangkit penyakit tersebut, mau membeli untuk
melindungi 85 juta orang beresiko terkena penyakit ini, tapi tak satupun menanggapi
permohonan itu. Akhirnya Merck memutuskan memberikan secara gratis obat tersebut,
namun tidak ada saluran distribusi untuk menyalurkan kepada penduduk yang
memerlukan. Bekerjasama dengan WHO, perusahaan membiayai komite untuk
mendistribusikan obat secara aman kepada negara dunia ketiga, dan memastikan obat
tidak akan dialihkan ke pasar gelap dan menjualnya untuk hewan. Tahun 1996, komite
mendistribusikan obat untuk jutaan orang, yang secara efektif mengubah hidup penderita
dari penderitaan yang amat sangat, dan potensi kebutaan akibat penyakit tersebut.
Merck menginvestasikan banyak uang untuk riset, membuat dan mendistribusikan obat
yang tidak menghasilkan uang, karena menurut Vegalos pilihan etisnya adalah
mengembangkannya, dan penduduk dunia ketiga akan mengingat bahwa Merck
membantu mereka dan akan mengingat di masa yang akan dating. Selama bertahun-tahun
perusahaan belajar bahwa tindakan semacam itu memiliki keuntungan strategis jangka
panjang yang penting.
Para ahli sering berkelakar, bahwa etika bisnis merupakan sebuah kontradiksi istilah
karena ada pertentangan antara etika dan minat pribadi yang berorientasi pada pencarian
keuntungan. Ketika ada konflik antara etika dan keuntungan, bisnis lebih memilih
keuntungan daripada etika.
Buku Business Ethics mengambil pandangan bahwa tindakan etis merupakan strategi
bisnis jangka panjang terbaik bagi perusahaan – sebuah pandangan yang semakin
diterima dalam beberapa tahun belakangan ini.
1.1.ETIKA BISNIS DAN ISU TERKAIT
Menurut kamus, istilah etika memiliki beragam makna berbeda. Salah satu maknanya
adalah “prinsip tingkah laku yang mengatur individu dan kelompok”. Makna kedua
menurut kamus – lebih penting – etika adalah “kajian moralitas”. Tapi meskipun etika
berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika adalah
semacam penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri,
sedangkan moralitas merupakan subjek.
A. Moralitas
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar
dan salah, atau baik dan jahat.
Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan
yang kita yakini benar atau salah secara moral, dan nilai-nilai yang kita terapkan pada
objek-objek yang kita yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Norma moral
seperti “selalu katakan kebenaran”, “membunuh orang tak berdosa itu salah”. Nilai-nilai
moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan objek-objek atau
ciri-ciri objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”.
Standar moral pertama kali terserap ketika masa kanak-kanak dari keluarga, teman,
pengaruh kemasyarakatan seperti gereja, sekolah, televisi, majalah, music dan
perkumpulan.
Hakekat standar moral :
1. Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan
secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
2. Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif
tertentu.
3. Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk (khususnya)
kepentingan diri.
4. Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
5. Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan
yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik
bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak
memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu
dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
B. Etika
Etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral
masyarakat. Ia mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam
kehidupan kita dan apakah standar itu masuk akal atau tidak masuk akal – standar, yaitu
apakah didukung dengan penalaran yang bagus atau jelek.
Etika merupakan penelaahan standar moral, proses pemeriksaan standar moral orang atau
masyarakat untuk menentukan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak untuk
diterapkan dalam situasi dan permasalahan konkrit. Tujuan akhir standar moral adalah
mengembangkan bangunan standar moral yang kita rasa masuk akal untuk dianut.
Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar
yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika
mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar benar dan salah, dan moral
yang baik dan jahat.
C. Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah.
Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan,
institusi, dan perilaku bisnis.
Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke
dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi
dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada di
dalam organisasi.
D. Penerapan Etika pada Organisasi Perusahaan
Dapatkan pengertian moral seperti tanggung jawab, perbuatan yang salah dan kewajiban
diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan, ataukah pada orang (individu) sebagai
perilaku moral yang nyata?
Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini :
Ekstrem pertama, adalah pandangan yang berpendapat bahwa, karena aturan yang
mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan
bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa yang mereka
lakukan, kita dapat mengatakan mereka bertanggung jawab secara moral untuk tindakan
mereka dan bahwa tindakan mereka adalah bermoral atau tidak bermoral dalam
pengertian yang sama yang dilakukan manusia.
Ekstrem kedua, adalah pandangan filsuf yang berpendirian bahwa tidak masuk akal
berpikir bahwa organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab karena ia gagal
mengikuti standar moral atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral.
Organisasi bisnis sama seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta
mentaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih
tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena
ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal
bertindak secara moral.
Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia,
indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan
tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan
perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan
tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak
secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak secara
bermoral.
E. Globalisasi, Perusahaan Multinasional dan Etika Bisnis
Globalisasi adalah proses yang meliputi seluruh dunia dan menyebabkan system ekonomi
serta sosial negara-negara menjadi terhubung bersama, termasuk didalamnya barangbarang,
jasa, modal, pengetahuan, dan peninggalan budaya yang diperdagangkan dan
saling berpindah dari satu negara ke negara lain. Proses ini mempunyai beberapa
komponen, termasuk didalamnya penurunan rintangan perdagangan dan munculnya pasar
terbuka dunia, kreasi komunikasi global dan system transportasi seperti internet dan
pelayaran global, perkembangan organisasi perdagangan dunia (WTO), bank dunia, IMF,
dan lain sebagainya.
Perusahaan multinasional adalah inti dari proses globalisasi dan bertanggung jawab
dalam transaksi internasional yang terjadi dewasa ini. Perusahaan multinasional adalah
perusahaan yang bergerak di bidang yang menghasilkan pemasaran, jasa atau operasi
administrasi di beberapa negara. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang
melakukan kegiatan produksi, pemasaran, jasa dan beroperasi di banyak negara yang
berbeda.
Karena perusahaan multinasional ini beroperasi di banyak negara dengan ragam budaya
dan standar yang berbeda, banyak klaim yang menyatakan bahwa beberapa perusahaan
melanggar norma dan standar yang seharusnya tidak mereka lakukan.
F. Etika Bisnis dan Perbedaan Budaya
Relativisme etis adalah teori bahwa, karena masyarakat yang berbeda memiliki
keyakinan etis yang berbeda. Apakah tindakan secara moral benar atau salah, tergantung
kepada pandangan masyarakat itu. Dengan kata lain, relativisme moral adalah pandangan
bahwa tidak ada standar etis yang secara absolute benar dan yang diterapkan atau harus
diterapkan terhadap perusahaan atau orang dari semua masyarakat. Dalam penalaran
moral seseorang, dia harus selalu mengikuti standar moral yang berlaku dalam
masyarakat manapun dimana dia berada.
Pandangan lain dari kritikus relativisme etis yang berpendapat, bahwa ada standar moral
tertentu yang harus diterima oleh anggota masyarakat manapun jika masyarakat itu akan
terus berlangsung dan jika anggotanya ingin berinteraksi secara efektif.
Relativisme etis mengingatkan kita bahwa masyarakat yang berbeda memiliki keyakinan
moral yang berbeda, dan kita hendaknya tidak secara sederhana mengabaikan keyakinan
moral kebudayaan lain ketika mereka tidak sesuai dengan standar moral kita.
G. Teknologi dan Etika Bisnis
Teknologi yang berkembang di akhir dekade abad ke-20 mentransformasi masyarakat
dan bisnis, dan menciptakan potensi problem etis baru. Yang paling mencolok adalah
revolusi dalam bioteknologi dan teknologi informasi. Teknologi menyebabkan beberapa
perubahan radikal, seperti globalisasi yang berkembang pesat dan hilangnya jarak,
kemampuan menemukan bentuk-bentuk kehidupan baru yang keuntungan dan resikonya
tidak terprediksi. Dengan perubahan cepat ini, organisasi bisnis berhadapan dengan
setumpuk persoalan etis baru yang menarik.
1.2 PERKEMBANGAN MORAL DAN PENALARAN MORAL
A. Perkembangan Moral
Riset psikologi menunjukkan bahwa, perkembangan moral seseorang dapat berubah
ketika dewasa. Saat anak-anak, kita secara jujur mengatakan apa yang benar dan apa
yang salah, dan patuh untuk menghindari hukuman. Ketika tumbuh menjadi remaja,
standar moral konvensional secara bertahap diinternalisasikan. Standar moral pada tahap
ini didasarkan pada pemenuhan harapan keluarga, teman dan masyarakat sekitar. Hanya
sebagian manusia dewasa yang rasional dan berpengalaman memiliki kemampuan
merefleksikan secara kritis standar moral konvensional yang diwariskan keluarga, teman,
budaya atau agama kita. Yaitu standar moral yang tidak memihak dan yang lebih
memperhatikan kepentingan orang lain, dan secara memadai menyeimbangkan perhatian
terhadap orang lain dengan perhatian terhadap diri sendiri.
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun,
menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2 tahap) yang
teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan dengan isu-isu
moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi sosial dan
dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan
Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan
atau keburukan tindakan itu. Alasan anak untuk melakukan yang baik adalah untuk
menghindari hukuman atau menghormati kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas
Pada tahap ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument
untuk memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan
anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi menunjukkan loyalitas
terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada masa ini, dapat melihat situasi
dari sudut pandang orang lain, dari perspektif kelompok sosialnya.
Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal
Pada tahap ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai
pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan
Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan oleh
loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar. Hukum dipatuhi
kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah jelas.
3) Level tiga : Tahap Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan norma
kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang secara adil
mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum dan nilai yang
diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam pengertian prinsip moral
yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara rasional. Hukum dan nilai yang pantas
adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang memotivasi orang yang rasional untuk
menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial
Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat
personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus
dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan
norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal
Tahap akhir ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang
dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan seseorang untuk
melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap prinsip-prinsip moral
tersebut dan dia melihatnya sebagai criteria untuk mengevaluasi semua aturan dan
tatanan moral yang lain.
Teori Kohlberg membantu kita memahami bagaimana kapasitas moral kita berkembang
dan memperlihatkan bagaimana kita menjadi lebih berpengalaman dan kritis dalam
menggunakan dan memahami standar moral yang kita punyai. Namun tidak semua orang
mengalami perkembangan, dan banyak yang berhenti pada tahap awal sepanjang
hidupnya. Bagi mereka yang tetap tinggal pada tahap prakonvensional, benar atau salah
terus menerus didefinisikan dalam pengertian egosentris untuk menghindari hukuman
dan melakukan apa yang dikatakan oleh figur otoritas yang berkuasa. Bagi mereka yang
mencapai tahap konvensional, tetapi tidak pernah maju lagi, benar atau salah selalu
didefinisikan dalam pengertian norma-norma kelompok sosial mereka atau hukum negara
atau masyarakat mereka. Namun demikian, bagi yang mencapai level postkonvensional
dan mengambil pandangan yang reflektif dan kritis terhadap standar moral yang mereka
yakini, benar dan salah secara moral didefinisikan dalam pengertian prinsip-prinsip moral
yang mereka pilih bagi mereka sendiri sebagai yang lebih rasional dan memadai.
B. Penalaran Moral
Penalaran moral mengacu pada proses penalaran dimana prilaku, institusi, atau kebijakan
dinilai sesuai atau melanggar standar moral. Penalaran moral selalu melibatkan dua
komponen mendasar :
1. Pemahaman tentang yang dituntut, dilarang, dinilai atau disalahkan oleh standar
moral yang masuk akal.
2. Bukti atau informasi yang menunjukkan bahwa orang, kebijakan, institusi, atau
prilaku tertentu mempunyai ciri-ciri standar moral yang menuntut, melarang,
menilai, atau menyalahkan.
3. Menganalisis Penalaran Moral
Ada beberapa criteria yang digunakan para ahli etika untuk mengevaluasi kelayakan
penalaran moral, yaitu :
• Penalaran moral harus logis.
• Bukti factual yang dikutip untuk mendukung penilaian harus akurat, relevan dan
lengkap.
• Standar moral yang melibatkan penalaran moral seseorang harus konsisten.
1.3 ARGUMEN YANG MENDUKUNG DAN YANG MENETANG ETIKA BISNIS
Banyak yang keberatan dengan penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian
ini membahas keberatan-keberatan tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan
berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan etika ke dalam bisnis.
Tiga keberatan atas penerapan etika ke dalam bisnis :
Orang yang terlibat dalam bisnis, kata mereka hendaknya berfokus pada pencarian
keuntungan finansial bisnis mereka dan tidak membuang-buang energi mereka atau
sumber daya perusahaan untuk melakukan ”pekerjaan baik”. Tiga argumen diajukan
untuk mendukung perusahaan ini :
Pertama, beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna, pencarian
keuntungan dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan
cara-cara yang paling menguntungkan secara sosial. Agar beruntung, masing-masing
perusahaan harus memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan
harus melakukannya dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat
akan sangat beruntung jika manajer tidak memaksakan nilai-nilai pada bisnis, namun
mengabdikan dirinya pada pencarian keuntungan yang berfokus.
Argumen tersebut menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu : Pertama, sebagian besar
industri tidak ”kompetitif secara sempurna”, dan sejauh sejauh perusahaan tidak harus
berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan keuntungan sekalipun produksi tidak
efisien. Kedua, argumen itu mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk
meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara sosial, sekalipun dalam
kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya
merugikan perusahaan : membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat
produksi, penyuapan. Menghindari pajak, dsb. Ketiga, argumen itu mengasumsikan
bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan publik pembeli, perusahaan
memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota masyarakat, ketika kenyataan
keinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin dan dan tidak diuntungkan)
tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pasar. Keempat,
argumen itu secara esensial membuat penilaian normatif.
Kedua, Kadang diajukan untuk menunjukan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus
mengejar keuntungan perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang oleh
Ale C. Michales disebut ”argumen dari agen yang loyal”. Argumen tersebut secara
sederhana adalah sbb :
Sebagai agen yang loyal dari majikannya manajer mempunyai kewajiban untuk melayani
majikannya ketika majikan ingin dilayani (jika majikan memiliki keakhlian agen).
Majikan ingin dilayani dengan cara apapun yang akan memajukan kepentingannya
sendiri. Dengan demikian sebagai agen yang loyal dari majikannya, manajer mempunyai
kewajiban untuk melayani majikannya dengan cara apapun yang akan memajukan
kepentingannya.
Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena ”dalam menentukan apakah perintah
klien kepada agen masuk akal atau tidak... etika bisnis atau profesional harus
mempertimbangkan” dan ”dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen mempunyai
kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang ilegal atau tidak etis”. Dengan
demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasanbatasan
moralitas.
Ketiga, untuk menjadi etis cukuplah bagi orang-orang bisnis sekedar mentaati hukum :
Etika bisnis pada dasarnya adalah mentaati hukum.
Terkadang kita salah memandang hukum dan etika terlihat identik. Benar bahwa hukum
tertentu menuntut perilaku yang sama yang juga dituntut standar moral kita. Namun
demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Beberapa hukum tidak punya kaitan
dengan moralitas, bahkan hukum melanggar standar moral sehingga bertentangan dengan
moralitas, seperti hukum perbudakan yang memperbolehkan kita memperlakukan budak
sebagai properti. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti hukum.
Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar Moral kita
kadang dimasukan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar
moral harus ditegakkan dengan kekuatan sistem hukum sebaliknya, hukum dikritik dan
dihapuskan ketika jelas-jelas melanggar standar moral.
Kasus etika dalam bisnis
Etika seharusnya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika mengatur
semua aktivitas manusia yang disengaja, dan karena bisnis merupakan aktitivitas manusia
yang disengaja, etika hendaknya juga berperan dalam bisnis. Argumen lain berpandangan
bahwa, aktivitas bisnis, seperti juga aktivitas manusia lainnya, tidak dapat eksis kecuali
orang yang terlibat dalam bisnis dan komunitas sekitarnya taat terhadap standar minimal
etika. Bisnis merupakan aktivitas kooperatif yang eksistensinya mensyaratkan perilaku
etis.
Dalam masyarakat tanpa etika, seperti ditulis oleh filsuf Hobbes, ketidakpercayaan dan
kepentingan diri yang tidak terbatas akan menciptakan ”perang antar manusia terhadap
manusia lain”, dan dalam situasi seperti itu hidup akan menjadi ”kotor, brutal, dan
dangkal”. Karenanya dalam masyarakat seperti itu, tidak mungkin dapat melakukan
aktivitas bisnis, dan bisnis akan hancur. Katena bisnis tidak dapat bertahan hidup tanpa
etika, maka kepentingan bisnis yang paling utama adalah mempromosikan perilaku etika
kepada anggotanya dan juga masyarakat luas.
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukan bahwa etika konsisten
dengan tujuan bisnis, khususnya dalam mencari keuntungan. Contoh Merck dikenal
karena budaya etisnya yang sudah lama berlangsung, namun ia tetap merupakan
perusahaan yang secara spektakuler mendapatkan paling banyak keuntungan sepanjang
masa.
Apakah ada bukti bahwa etika dalam bisnis secara sistematis berkorelasi dengan
profitabilitas? Apakah Perusahaan yang etis lebih menguntungkan dapripada perusahaan
lainnya ?
Beberapa studi menunjukan hubungan yang positif antara perilaku yang bertanggung
jawab secara sosial dengan profitabilitas, beberapa tidak menemukan korelasi bahwa
etika bisnis merupakan beban terhadap keuntungan. Studi lain melihat, perusahaan yang
bertanggung jawab secara sosial bertransaksi di pasar saham, memperoleh pengembalian
yang lebih tinggi daripada perusahaan lainnya. Semua studi menunjukan bahwa secara
keseluruhan etika tidak memperkecil keuntungan, dan tampak justru berkontribusi pada
keuntungan.
Dalam jangka panjang, untuk sebagian besar, lebih baik menjadi etis dalam bisnis dari
pada tidak etis. Meskipun tidak etis dalam bisnis kadang berhasil, namun perilaku tidak
etis ini dalam jangka panjang, cenderung menjadi kekalahan karena meruntuhkan
hubungan koperatif yang berjangka lama dengan pelanggan, karyawan dan anggota
masyarakat dimana kesuksesan disnis sangat bergantung.
Akhirnya kita harus mengetahui ada banyak bukti bahwa sebagian besar orang akan
menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang mereka persepsi berperilaku
tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi berperilaku etis. Pelanggan
akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan yang dilakukan
perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli
produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukan absentisme lebih
tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah lebih tinggi. Sebaliknya, ketika
karyawan percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan
apapun yang dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya,
etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif.
Dengan demikian, ada sejumlah argumen yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa
etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.
1.4 TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN MORAL
Kapankah secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan
kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan efek-efek
merugikan yang telah diketahui ;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebas
b. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu
dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan
tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
1. Ketidaktahuan
2. Ketidakmampuan
Keduanya disebut kondisi yang memaafkan karena sepenuhnya memaafkan orang dari
tanggung jawab terhadap sesuatu. Jika seseorang tidak mengetahui, atau tidak dapat
menghindari apa yang dia lakukan, kemudian orang itu tidak berbuat secara sadar, ia
bebas dan tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. Namun, ketidaktahuan dan
ketidakmampuan tidak selalu memaafkan seseorang, salah satu pengecualiannya adalah
ketika seseorang mungkin secara sengaja, membiarkan dirinya tidak mau mengetahui
persoalan tertentu.
Ketidakmampuan bisa jadi merupakan akibat lingkungan internal dan eksternal yang
menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan sesuatu atau tidak dapat menahan
melakukan sesuatu. Seseorang mungkin kekurangan kekuasaan, keahlian, kesempatan
atau sumber daya yang mencukupi untuk bertindak. Seseorang mungkin secara fisik
terhalang atau tidak dapat bertindak, atau pikiran orang secara psikologis cacat sehingga
mencegahnya mengendalikan tindakannya. Ketidakmampuan mengurangi tanggung
jawab karena seseorang tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan (atau
melarang melakukan) sesuatu yang tidak dapat dia kendalikan. Sejauh lingkungan
menyebabkan seseorang tidak dapat mengendalikan tindakannya atau mencegah kerugian
tertentu, adalah keliru menyalahkan orang itu.
Sebagai tambahan atas dua kondisi yang memaklumkan itu (ketidaktahuan dan
ketidakmampuan), yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang
karena kesalahan, ada juga beberapa faktor yang memperingan, yang meringankan
tanggung jawab moral seseorang yang tergantung pada kejelasan kesalahan. Faktor yang
memperingan mencakup :
• Lingkungan yang mengakibatkan orang tidak pasti, namun tidak juga tidak yakin
tentang apa yang sedang dia lakukan ( hal tersebut mempengaruhi pengetahuan
seseorang)
• Lingkungan yang menyulitkan, namun bukan tidak mungkin untuk menghindari
melakukannya (hal ini mempengaruhi kebebasan seseorang)
• Lingkungan yang mengurangi namun tidak sepenuhnya menghilangkan
keterlibatan seseorang dalam sebuah tindakan (ini mempengaruhi tingkatan
sampai dimana seseorang benar-benar menyebabkan kerugian)
Hal tersebut dapat memperingan tanggung jawab seseorang karena kelakuan yang keliru
yang tergantung pada faktor keempat, yaitu keseriusan kesalahan.
Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian yang
memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :
1. Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang dia
lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek kerugian yang
disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan dengan bebas dan
sadar.
2. Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh
ketidaktahuan dan ketidakmampuan
3. Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
• Ketidak pastian
• Kesulitan
Bobot keterlibatan yang kecil (meskipun kegagalan tidak memperingan jika seseorang
mempunyai tugas khusus untuk mencegah kesalahan), namun cakupan sejauh mana halhal
tersebut memperingan tanggung jawab moral seseorang kepada (dengan) keseriusan
kesalahan atau kerugian. Semakin besar keseriusannya, semakin kecil ketiga faktor
pertama tadi dapat meringankan.
Para kritikus berdebat, apakah semua faktor yang meringankan itu benar-benar
mempengaruhi tanggung jawab seseorang? Beberapa berpendapat bahwa, kejahatan tidak
pernah diterima, tidak peduli tekanan apakah yang terjadi pada seseorang. Kritikus lain
berpendapat, membiarkan secara pasif suatu kesalahan terjadi, tidak berbeda dengan
secara aktif menyebabkan suatu kesalahan terjadi.
A. Tanggung Jawab Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering
didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya
terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga
tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi,
siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan
bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa
ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama,
tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan
konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan
kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
Kaum tradisional membantah bahwa, meskipun kita kadang membebankan tindakan
kepada kelompok perusahaan, fakta legal tersebut tidak mengubah realitas moral dibalik
semua tindakan perusahaan itu. Individu manapun yang bergabung secara sukarela dan
bebas dalam tindakan bersama dengan orang lain, yang bermaksud menghasilkan
tindakan perusahaan, secara moral akan bertanggung jawab atas tindakan itu.
Namun demikian, karyawan perusahaan besar tidak dapat dikatakan “dengan sengaja dan
dengan bebas turut dalam tindakan bersama itu” untuk menghasilkan tindakan
perusahaan atau untuk mengejar tujuan perusahaan. Seseorang yang bekerja dalam
struktur birokrasi organisasi besar tidak harus bertanggung jawab secara moral atas setiap
tindakan perusahaan yang turut dia bantu, seperti seorang sekretaris, juru tulis, atau
tukang bersih-bersih di sebuah perusahaan. Faktor ketidaktahuan dan ketidakmampuan
yang meringankan dalam organisasi perusahaan birokrasi berskala besar, sepenuhnya
akan menghilangkan tanggung jawab moral orang itu.
B. Tanggung Jawab Bawahan
Dalam perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka.
Perusahaan biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada level
yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara moral ketika
seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan yang mereka
ketahui salah.
Orang kadang berpendapat bahwa, ketika seorang bawahan bertindak sesuai dengan
perintah atasannya yang sah, dia dibebaskan dari semua tanggung jawab atas tindakan itu.
Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru, bahkan
jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru, karena
bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara bebas dan
sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah merupakan pilihan secara
bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas kewajiban karyawan untuk mentaati
atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai kewajiban untuk mentaati perintah
melakukan apapun yang tidak bermoral.
Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk
melakukan sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral
bertanggung jawab atas tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung
jawab secara moral, karena fakta atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan
tindakan yang salah tidak mengubah fakta bahwa atasan melakukannya.
HAL – HAL YANG MENARIK
1. Dasar Etika adalah Moral
Apa yang dimaksud dengan etika? Menurut kamus ada banyak arti dari etika diantaranya
adalah :
• Prinsip – prinsip yang digunakan untuk mengatur prilaku individu atau kelompok
• Pelajaran tentang moral
Definisi Moralitas adalah :
“Aturan-aturan yang dimiliki perorangan atau kelompok tentang apa-apa yang benar dan
apa-apa yang salah, atau apa-apa yang baik dan yang jahat.”
Sedangkan yang dimaksud dengan standar moral adalah :
“Norma-norma yang kita miliki tentang jenis-jenis tindakan yang kita percaya secara
moral benar atau salah.”
2. Moral Lebih ke Arah Individu
Organisasi perusahaan akan eksis bila :
“Ada individu – individu manusia dengan hubungan dan lingkungan tertentu.”
Karena tindakan perusahaan dilakukan oleh pilihan dan tindakan individu-individu di
dalamnya. Maka individu-individu tadi yang harus dilihat sebagai penghalang dan
pelaksana utama dari tugas moral, tanggung jawab moral perusahaan.
Individu-individu manusia tadi bertanggung jawab pada apa yang dilakukan oleh
perusahaan, karena tindakan perusahaan berlangsung karena pilihan-pilihan mereka dan
prilaku individu-individu tadi. Sehingga perusahaan mempunyai tugas moral untuk
melakukan sesuatu bila anggota perusahaan tersebut mempunyai tanggung jawab moral
untuk melakukan sesuatu.
3. Pencapai Tetinggi dari Etika adalah Berorientasi pada Prinsip Etika Universal
Tingkat final, tindakan yang benar dilakukan berdasarkan prinsip moral karena logis,
universality dan konsistensi.
Universality artinya suara hati, di dalam istilah ESQ disebut anggukan universal yang
mengacu kepada God Spot.
4. Kasus WorldCom dan Enron
4.1 Kasus WorldCom
Di dalam laporan keuangan WorldCom’s, Scott Sulivan memindahkan $ 400 juta dari
reserved account ke “income”. Dia juga selama bertahun-tahun melaporkan trilyunan
dolar biaya operasi sebagai “capital expenditure”.
Dia bisa melakukan ini dengan bantuan firm accounting dan auditor terkenal “Arthur
Andersen”. Padahal Scott Sullivan, pernah mendapat penghargaan sebagai Best CFO oleh
CFO Magazine tahun 1998.
4.2 Kasus Enron
Pada terbitan April 2001, majalah Fortune menjuluki Enron sebagai perusahaan paling
innovative di Amerika “Most Innovative” dan menduduki peringkat 7 besar perusahaan
di Amerika. Enam bulan kemudian (Desember 2001) Enron diumumkan bangkrut.
Kejadian ini dijuluki sebagai “Penipuan accounting terbesar di abad ke 20”. Dua belas
ribu karyawan kehilangan pekerjaan. Pemegang saham-saham Enron kehilangan US$ 70
Trilyun dalam sekejap ketika nilai sahamnya turun menjadi nol.
Kejadian ini terjadi dengan memanfaatkan celah di bidang akuntansi. Andrew Fastow,
Chief Financial officer bekerjasama dengan akuntan public Arthur Andersen,
memanfaatkan celah di bidang akuntansi, yaitu dengan menggunakan “special purpose
entity”, karena aturan accounting memperbolehkan perusahaan untuk tidak melaporkan
keuangan special purpose entity bila ada pemilik saham independent dengan nilai
minimum 3%.
Dengan special purpose entity tadi, kemudian meminjam uang ke bank dengan
menggunakan jaminan saham Enron. Uang hasil pinjaman tadi digunakan untuk
menghidupi bisnis Enron.
4.3 Bahasan Kasus
Dari kasus WorldCom’s dan Enron diatas, dapat diamati bahwa walaupun sudah ada
aturan yang jelas mengatur system accounting, tetapi kalau manusia yang mengatur tadi
tidak bermoral dan tidak beretika maka mereka akan memanfaatkan celah yang ada untuk
kepentingan mereka.
4.4 Pandangan Velasquez tentang Etika Bisnis di Arab Saudi
Menurut Velasquez, Arab Saudi adalah tempat kelahiran Islam, yang menggunakan
landasan Islam Suni sebagai hukum, kebijakan dan system sosialnya. Tetapi di Arab
Saudi tidak dikenal “basic right” (keadilan dasar, seperti tidak ada demokrasi, tidak ada
kebebasan berbicara, tidak ada kebebasan pers, tidak mengenal peradilan dengan system
juri, tidak mengenal kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap wanita. Sehingga
menurut Velasquez, di Arab Saudi tidak mengenal hak azazi manusia.
BAHASAN
Velasquez menyatakan, Arab Saudi adalah contoh Etika Islam, dengan alasan sederhana
karena Islam lahir disana. Tetapi dia lupa bahwa Agama Kristen dan Yahudi juga tidak
lahir di Eropa atau di Amerika. Dia mengeneralisir bahwa Arab Saudi adalah Islam.
Padahal Arab Saudi bukan merupakan penggambaran negara Islam yang dicontohkan
Nabi Muhammad SAW. Dalam jaman Rasul dan empat sahabat penerusnya dikenal
istilah demokrasi dan kebebasan beragama.
HAL – HAL MENARIK MENJADI BAHAN DISKUSI
1. Bagaimana pendekatan etika yang harus out-in atau in-out
• Out- in adalah proses pengawasan dari luar ke dalam, harus ada aturan main atau
bisnis proses yang jelas dan transparan sehingga etika bisnis bisa berjalan,
misalnya ada good corporate governance, balance scorecard, atau Malcolm
baldrige
• In- out adalah pendekatan dari sisi individu pelaku bisnis, pelaku dari etika adalah
invidu dan setiap individu harus menjalankan etika bisnis.
• Dalam kasus Enron dan WorldCom’s, walaupun sudah ada system yang sangat
baik dan well defined is organized, masih saja “oknum” manusia mencari celah
diantara aturan main tersebut.
• Bagaimanakah sebaiknya implementasi etika bisnis yang baik, dengan pendekatan
in-out, out-in, atau ambivalent dengan menerapkan keduanya.
2. Apakah etika itu pesan universal horizontal – kewajiban vertical
• Dasar dari etika adalah kajian terhadap moralitas, dan moralitas tadi mengaju
kepada individu.
• Sedangkan pencapai tertinggi dari moral adalah Orientasi Prinsip Etis Universal
• Velasquez menyatakan etika itu lebih abstrak daripada “Ten Commandements”
• Apakah etika itu pesan universal horizontal (manusia ke manusia) minus nilai
kewajiban vertical (Agama) ?
CONTOH PELANGGARAN ETIKA BISNIS
• Pelanggaran etika bisnis terhadap hukum
Sebuah perusahaan X karena kondisi perusahaan yang pailit akhirnya memutuskan untuk
Melakukan PHK kepada karyawannya. Namun dalam melakukan PHK itu, perusahaan
sama sekali tidak memberikan pesongan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan. Dalam kasus ini perusahaan x dapat dikatakan melanggar
prinsip kepatuhan terhadap hukum.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran
baru sekolah mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan
sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu tidak
ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu
dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan
sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi
• Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan
yang akan mendaftar PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai
salah seorang karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus
karena menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga
segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak
Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS
Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan
fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah
Sakit
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam
pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan
calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara
tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan
pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang
terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak
Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2
bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada
kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan,
begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut
telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai
calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kewajaran
Sebuah perusahaan property ternama di Yogjakarta tidak memberikan surat ijin
membangun rumah dari developer kepada dua orang konsumennya di kawasan kavling
perumahan milik perusahaan tersebut. Konsumen pertama sudah memenuhi
kewajibannya membayar harga tanah sesuai kesepakatan dan biaya administrasi lainnya.
Sementara konsumen kedua masih mempunyai kewajiban membayar kelebihan tanah,
karena setiap kali akan membayar pihak developer selalu menolak dengan alasan belum
ada ijin dari pusat perusahaan (pusatnya di Jakarta). Yang aneh adalah di kawasan
kavling itu hanya dua orang ini yang belum mengantongi izin pembangunan rumah,
sementara 30 konsumen lainnya sudah diberi izin dan rumah mereka sudah dibangun
semuannya. Alasan yang dikemukakan perusahaan itu adalah ingin memberikan pelajaran
kepada dua konsumen tadi karena dua orang ini telah memprovokasi konsumen lainnya
untuk melakukan penuntutan segera pemberian izin pembangunan rumah. Dari kasus ini
perusahaan property tersebut telah melanggar prinsip kewajaran (fairness) karena tidak
memenuhi hak-hak stakeholder (konsumen) dengan alasan yang tidak masuk akal.
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip kejujuran
Sebuah perusahaan pengembang di Sleman membuat kesepakatan dengan sebuah
perusahaan kontraktor untuk membangun sebuah perumahan. Sesuai dengan kesepakatan
pihak pengembang memberikan spesifikasi bangunan kepada kontraktor. Namun dalam
pelaksanaannya, perusahaan kontraktor melakukan penurunan kualitas spesifikasi
bangunan tanpa sepengetahuan perusahaan pengembang. Selang beberapa bulan kondisi
bangunan sudah mengalami kerusakan serius. Dalam kasus ini pihak perusahaan
kontraktor dapat dikatakan telah melanggar prinsip kejujuran karena tidak memenuhi
spesifikasi bangunan yang telah disepakati bersama dengan perusahaan pengembang
• Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip empati
Seorang nasabah, sebut saja X, dari perusahaan pembiayaan terlambat membayar
angsuran mobil sesuai tanggal jatuh tempo karena anaknya sakit parah. X sudah
memberitahukan kepada pihak perusahaan tentang keterlambatannya membayar
angsuran, namun tidak mendapatkan respon dari perusahaan. Beberapa minggu setelah
jatuh tempo pihak perusahaan langsung mendatangi X untuk menagih angsuran dan
mengancam akan mengambil mobil yang masih diangsur itu. Pihak perusahaan menagih
dengan cara yang tidak sopan dan melakukan tekanan psikologis kepada nasabah. Dalam
kasus ini kita dapat mengakategorikan pihak perusahaan telah melakukan pelanggaran
prinsip empati pada nasabah karena sebenarnya pihak perusahaan dapat memberikan
peringatan kepada nasabah itu dengan cara yang bijak dan tepat.

sumber: http://entrepreneur.gunadarma.ac.id/e-learning/attachments/040_etika%20bisnis%20dan%20kewirausahaan.pdf