sumber: Suwantin Oemar; Bisnis Indonesia (11 April 2005) Perusahaan swasta, yang masih menggunakan software ilegal untuk tujuan komersial, tampaknya harus berpikir dua kali untuk meneruskan penggunaan peranti lunak itu pada personal computer mereka. Bila tidak menggantinya dengan software resmi, maka bersiaplah untuk berhadapan dengan penegak hukum.
Ada sebuah kejadian menarik soal penggunaan software ilegal di perusahaan swasta. Tahun lalu, sebuah perusahaan tergolong besar di Jakarta tiba-tiba didatangi oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum datang setelah menerima informasi yang kuat bahwa perusahaan itu menggunakan banyak software ilegal untuk kepentingan bisnis mereka. Dugaan penegak hukum ternyata tidak meleset. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan banyak personal computer menggunakan software tidak resmi alias ilegal, sehinga polisi saat itu juga langsung melakukan penyegelan terhadap PC perusahaan. Memang tidak semua PC di perusahaan tersebut yang disegel oleh polisi karena banyak juga yang menggunakan software resmi.
Modus operandi yang dilakukan oleh perusahaan itu adalah dengan cara membeli beberapa software resmi, kemudian perusahaan itu menggandakannya melebihi kuota yang diizinkan. Biasanya satu software untuk satu personal computer, tapi ada juga satu software untuk beberapa komputer misalnya 10 komputer sesuai dengan perjanjian, tapi si perusahaan tersebut menggandakannya melebihi kuota yang diizinkan. Penggandaan itu bisa saja bukan merupakan kebijakan dari perusahaan atau hanya merupakan inisiatif dari karyawan, tapi bagaimanapun juga yang bertanggungjawab terhadap pemakaian software ilegal itu adalah perusahaan.
Kasus yang dialami oleh perusahaan tersebut di atas bisa dijadikan contoh dan sebagai peringatan bagi perusahaan swasta lain untuk menghindari penggunaan software ilegal, kecuali perusahaan mau menghadapai tuntutan hukum. Bakan tidak mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi akan banyak perusahaan yang bakal terkena razia atau penyegelan personal computer oleh aparat penegak hukum di perusahaan. Business Softare Alliance (BSA)-suatu perkumpulan industri yang bergerak di software AS-sudah menyatakan 'perang' dan akan terus melacak penggunaan software ilegal oleh perusahaan swasta dengan cara melibatkan masyarakat melalui sayembara berhadiah Rp50 juta bagi siapa saja yang memberikan informasi yang akurat dan tepat tentang penggunaan software ilegal di perusahaan.
Informasi yang masuk ke BSA bisa saja dari masyarakat luas, bisa saja dari karyawan perusahaan itu sendiri yang tidak loyal, sehingga mereka memberikan informasi kepada BSA. Jika hal demikian terjadi, maka perusahaan Anda akan menjadi target aparat penegak hukum dan besiaplah untuk menerima kedatangan polisi dan personal computer Anda yang kedapatan menggunakan software tidak resmi akan disegel. Gunawan Suryomurcito, Ketua Perhimpunan Masyarakat HaKI mengemukakan bahwa razia atau penggerebekan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sampai ke perusahaan itu sah-sah saja, asalkan petugas memiliki data dan informasi yang akurat untuk itu.
Dasar untuk melakukan penggeberakan atau penyegelan terhadap end user software ilegal adalah Pasal 72 ayat 3 Undang Undang Hak Cipta (UU No.19/2002) Dasar hukum "Bila ternyata sebuah perusahaan menggunakan software tidak resmi untuk tujuan komersial, maka kepada mereka bisa dikenakan pasal tersebut di atas, "kata Gunawan. Pasal 72 ayat 3 UU Hak Cipta berbunyi "Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta." Mengapa perusahaan swasta kini jadi sasaran aparat untuk menertibkan dan menegakan hukum di bidang hak cipta?
"BSA menduga banyak perusahaan swasta di Indonesia yang menggunakan software ilegal untuk tujuan komersial. Mereka menikmati keuntungan atas pemakaain software tidak resmi. Ini kan tidak fair," katanya. Pemakaian produk ilegal tersebut sebenarya tidak saja terjadi perusahaan swasta, tapi juga instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Bahkan, pemakaian software ilegal di instansi pemerintah tidak kalah hebatnya. Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah instansi pemerintah dan lembaga pendidikan juga akan menjadi sasaran razia atau penggerebekan?. "Untuk lembaga pendidikan kan sudah ada paket khusus yang harganya jauh lebih murah. Tapi, saya rasa target pertama adalah perusahaan swasta."
Menurut Gunawan, sayembara yang dilakukan oleh BSA dalam rangka penegakan hukum di bidang hak cipta akan berdampak positif, sehingga diharapkan perusahaan mau melegalkan software yang tidak resmi, sehingga semuanya beralih ke produk resmi. Dia mengemukakan bahwa hingga kini belum ada kebijakan teknologi informasi dari perusahaan swasta, sehingga kalau ada karyawan yang menggunakan software ilegal di kantor, maka hal itu tetap saja menjadi tanggungjawab perusahaan. Konon kini sudah ada satu instansi pemerintah yang membuat batasan yang jelas soal penggunaan software ilegal tersebut. Instansi pemerintah itu sudah memiliki komitmen menggunakan semua software legal di lingkungannya, sehingga bila ada kedapatan produk ilegal pada personal computer karyawan, maka hal itu akan menjadi tanggungjawab mereka sendiri.
Tujuan komersial Kita tidak tahu apakah sudah ada kebijakan dari perusahaan swasta soal penggunaan software tersebut, padahal banyak perusahaan swasta yang menjalan operasional untuk tujuan komersial dengan menggunkan software ilegal. Sebelum UU Hak Cipta yang baru diberlakukan, pernah juga dilakukan seperti itu dan ternyata efektif, tapi end user tidak dapat dikenakan tindakan hukum karena pasal untuk menjeratnya waktu itu belum ada. "Dengan Undang Undang Hak Cipta yang baru dapat dilaksanakan karena ada pasal 72 ayat 3," katanya. Dia mengemukakan bahwa pengusaha swasta hendaknya perlu mengubah pemahaman soal piranti lunak ini. Dulu software dianggap bagian dari hardware. Dengan adanya UU Hak Cipta yang baru, maka pemahanan perusahaan hendaknya perlu diubah.
"Software itu merupakan aset, sedangkan dulu dianggap cost." Gunawan mengakui bahwa harga software ilegal atau bajakan jauh lebih murah dari produk resmi. Dia memberi contoh harga software autocad berkisar US$3000, sedangkan harga tidak resmi atau produk bajakan bisa didapat di Glodok, Jakarta Pusat berkisar ratusan dolar atau ratusan ribu rupiah. Tapi, tegasnya, jangan lupa banyak juga ruginya menggunakan produk tidak resmi."Software bajakan tidak dapat dilakukan updating, kalau ada kesulitan terhadap software maka tidak ada after sales service-nya. Ini hendaknya menjadi perhatian juga bagi perusahaan,"katanya Selain itu, menurut dia, maraknya penggunaan software ilegal juga berdampak negatif terhadap perkembangan industri tersebut di dalam negeri.
"Orang akan malas berkreasi untuk menciptakan suatu hasil karya karena kuranganya perlindungan hukum terhadap para penciptanya," tambahnya. Industri AS yang berbasis hak cipta memang memiliki kepentingan terhadap penegakan hukum hak cipta karena pasar mereka digerogoti oleh peredaran produk bajakan, yang jumlahnya cukup besar. Menurut laporan tahunan yang diterbitkan oleh IIPA (International Intellectual Property Alliance) perkiraan kerugian industri berbasis hak cipta AS di seluruh dunia, termasuk di AS pada tahun 2004 berkisar US$23 miliar-US$30 miliar. Jumlah tersebut belum lagi termasuk kerugian pembajakan melalui internet. IIPA mencatat kerugian industri AS mencapai sedikitnya US$203,6 juta akibat pembajakan hak cipta di Indonesia. Kerugian tersebut berasal dari pembajakan film US$32juta, musik US$27,6 juta dan piranti lunak US$112 juta serta buku US$32 juta. Dalam laporan tersebut juga disebutkan tingkat pembajakan hak cipta baik film, musik, software dan buku di Indonesia masih relatif tinggi yaitu rata-rata sekitar 86,3 persen dengan rincian film (92 persen ), musik (80 persen ) dan software (87 persen). Menurut laporan ekonomi berjudul Industri hak cipta dalam ekonomi AS yang dirilis oleh IIPA pada Oktober 2004 terungkap kontribusi sektor industri berbasis hak cipta terhadap Gross Domestic Product (GDP) AS cukup besar.
IIPA adalah gabungan dari enam asosiasi, termasuk Business Software Alliance (BSA) yang mewakili kepentingan industri yang berbasis hak cipta Amerika Serikat. Anggota asosiasi ini mewakili sedikitnya 1.300 perusahaan yang memproduksi dan mendistribusikan produk yang dilindungi oleh undang undang hak cipta. Yang jelas BSA sudah melakukan terebosan untuk menegakkan hukum di bidang software. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah cara-cara seperti itu sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Jangan sampai cara seperti itu justru menimbulkan masalah hukum baru.
sumber:http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar